TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR-RI menilai pengaduan Serikat Pekerja dan Kuasa Hukum PT Cinderella Vila Indonesia (CVI) kepada Komisi III DPR-RI atas dugaan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Surabaya harus ditindaklanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku.
"Komisi Yudisial harus bertindak proaktif untuk melakukan pengusutan atas dugaan abuse of power yang dilakukan Ketua PN Surabaya," ujar Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Basarah disela-sela rapat dengar pendapat umum di ruang Komisi III DPR-RI, Senayan, Kamis (1/10/2015).
"Bila diperlukan agar KPK juga mengambil inisiatif melakukan penyelidikan atas kemungkinan telah terjadi jual beli perkara dalam kasus tersebut," Basarah menambahkan.
Anggota Komisi III Risa Mariska mengaku heran karena sudah ada surat petunjuk dari Mahkamah Agung dan ada rekomendasi Komnas HAM. Tapi Ketua PN Surabaya tetap melaksanakan eksekusi.
"Ketua PN Surabaya mengesampingkan norma hukum dan putusan inkracht MA yang menyatakan untuk tidak dieksekusi," ujarnya.
"Akibat putusan eksekusi itu, ada 1700 buruh terlantar. Jadi, saya ingin dilakukan kunjungan spesifik ke lokasi. Karena hal ini menjadi perhatian bukan soal nasib buruh saja tapi penyimpangan Ketua PN Surabaya," Riska menambahkan.
Untuk diketahui, Serikat Pekerja dan Kuasa Hukum PT Cinderella Vila Indonesia (CVI) diterima Komisi III DPR-RI, hari ini. Mereka mengadu terkait dugaan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Ketua PN Surabaya yang secara nyata-nyata telah mengakibatkan ribuan tenaga kerja/buruh pabrik pada PT. Cinderella Vila Indonesia (CVI) menjadi terkatung-katung nasibnya karena mereka tidak lagi bisa bekerja.
Kuasa Hukum PT CVI, Budi Kusumaning Atik, di hadapan anggota Komisi III memaparkan bahwa pada tanggal 3 September 2015 telah terjadi tindakan perampasan hak milik maupun perampasan hak untuk memperoleh pekerjaan dari segenap pengurus, pemilik maupun karyawan PT Cinderella Vila Indonesia dengan dilakukannya eksekusi yang melawan hukum atas tanah yang terletak di Jln. Tanjungsari 73-75 Surabaya milik PT Cinderella Vila Indonesia.
"Kami melihat terdapat kejanggalan berupa penyalahgunaan wewenang yang secara kasat mata dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Surabaya dalam melakukan eksekusi atas perkara tersebut, penyalahgunaan wewenang tersebut dapat dilihat sikap Ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang sama sekali tidak mengindahkan petunjuk dari Mahkamah Agung," ujar Budi.
"Kami mengecam sikap sewenang-wenang Ketua PN Surabaya dan menuntut Ketua PN Surabaya untuk memulihkan kembali hak-hak PT CVI beserta seluruh tenaga kerja dan menyatakan eksekusi atas tanah PT CVI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Kuasa Hukum PT CVI menjelaskan Mahkamah Agung telah menerbitkan putusan menyatakan eksekusi terhadap tanah milik PT CVI tidak dapat dilakukan atau non eksekutabel.
Dia menambahkan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya tidak mengindahkan rekomendasi Komnas HAM yang pada pokoknya menyatakan menilai jika eksekusi ini tetap dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Surabaya, maka telah terjadi pelanggaran HAM yang sangat serius.
Marini, mewakili Serikat Pekerja PT CVI mengatakan saat ini nasib pekerja menjadi tidak jelas pasca eksekusi itu.
"Saat ini sekitar 1700 orang kehilangan pekerjaan. Eksekusi 3 September lalu tidak wajar. PN Surabaya dan kepolisian mengerahkan 2000 aparat. Kami ada yang luka dan pingsan. Komisi III harus memperhatikan kasus ini," pintanya.
Untuk itu, Serikat Pekerja dan Kuasa Hukum meminta Komisi III DPR RI membentuk tim khusus melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM atas terjadinya eksekusi ini.