TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk mengganti Jaksa Agung HM Prasetyo.
Syarat utama calon penggantinya bukan dari partai politik.
"Mau PAN atau PIN, syaratnya tidak boleh dari partai politik. Dan dari sisi pemilihannya, saya pikir (pemilihan Jaksa Agung) harus melibatkan publik," ujar Haris usai menggelar konferensi pers di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (25/10/2015).
Lanjut Haris, bila Prasetyo dicopot dari jabatannya, maka orang yang menggantikannya haruslah orang yang mempunyai pengalaman dalam memberantas isu-isu korupsi dan penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia.
"Kalau dia pernah berkarir sebagai pengacara atau sebagai jaksa karir maka kita harus periksa kasus-kasusnya, apakah ditangani dengan argumentasi-argumentasi yang baik. Orang tersebut harus punya hasil produksi, pemikiran, dan karya," tambahnya.
Sementara itu berdasarkan pemantauan KontraS setidaknya ditemukan tiga persoalan yang menunjukkan Kejaksaan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo gagal menjalankan fungsinya.
Pertama, penyidikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu yang tidak dilakukan oleh Jaksa Agung. Selama 13 tahun (2002-2015), Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas tujuh berkpas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM.
Jaksa Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan pelbagai macam alasan yang berubah-ubah. Dan alasan yang digunakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, Jaksa Agung HM Prasetyo melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum.
Tindakan Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Pasal 21 ayat (1) UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, HM Prasetyo juga melanggar sumpah Jaksa Agung untuk "Senantiasa Menegakkan Hukum dan Keadilan".
Ketiga, inkonsistensi penegakan hukum dengan terus dilakukannya penerapan pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika oleh Kejaksaan Agung. Hal ini tentunya telah mengesampingkan prinsip supremasi hukum di Indonesia.