TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Indonesia Police Watch (IPW) mengecam keras terhadap apa yang dilakukan Polda Jatim dalam kasus Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch dalam rilisnya menyebutkan, kasus ini menunjukkan bahwa Kepolisian tidak becus dan bisa bersikap seenaknya, mentang-mentang punya kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum.
Akibatnya, sikap Polda Jatim dalam menangani kasus Risma membuat bingung publik dan berpotensi memicu konflik sosial di Surabaya maupun Jatim.
"Jajaran Kepolisian jangan bersikap seenak udelnya dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka dan seenak udelnya pula melakukan SP3 terhadap orang yang sudah dijadikan tersangka. Kasus Risma adalah kekacauan hukum dan sekaligus malapetaka hukum akibat sikap seenak udelnya dalam melakukan penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kepolisian, khususnya di Polda Jatim," tulis Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch dalam rilisnya.
Terjadinya polemik terhadap status Risma sebagai tersangka adalah akibat kecerobohan, ketidaktransparanan, dan ketidakpedulian Kapolda Jatim. Akibatnya terjadi politisasi dalam kasus Risma. Situasi ini jelas sangat berbahaya bagi situasi kamtibmas Surabaya menjelang Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang.
"Bagi pendukung Risma, Polda Jatim bisa dituduh berusaha mengganjal dan menggagalkan Risma dalam pilkada serentak. Sebaliknya, bagi lawan politik Risma, Polda Jatim bisa dituduh melindungi Risma, kok sudah jadi tersangka kasusnya tiba-tiba diSP3," jelasnya.
Untuk itu IPW mendesak Kapolri segera turun tangan dan memerintahkan Kapolda Jatim menjelaskan kepada publik mengenai posisi yang sebenarnya dalam kasus Risma. Sebab dari data yg diperoleh IPW ada kejanggalan dlm
kasus Risma. Apakah kejanggalan ini sengaja dimainkan para oknum untuk bermanuver atau ada hal lain.
"Lihat saja, dalam berkas SPDP itu Polda Jatim menetapkan Risma sebagai tersangka sejak 28 Mei 2015 tapi baru
mengirimkan SPDPnya ke kejaksaan pada 30 September 2015. Aneh memang," jelasnya.
Sebab saat SPDP itu dikirim, situasi politik Surabaya sdh mulai panas. Risma menjadi calon walikota, bahkan sempat menjadi calon tunggal. Tapi kenapa polisi tiba2 mengirimkan SPDP ke kejaksaan. Sementara Kapolri mengatakan kss Risma sebenarnya sdh dihentikan. Anehnya, Polda Jatim tidak pernah mengumumkan kasus Risma dihentikan.
Penanganan kasus Risma sendiri tdk pernah diungkap secara transparan ke publik, baik pengiriman SPDPnya maupun proses penghentiannya. Tiba-tiba muncul pernyataan dari kejaksaan, Risma menjadi tersangka oleh Polda
Jatim.
Ada apa di balik semua ini? Untuk itu Kapolri perlu mengevaluasi kinerja Kapolda Jatim. Jangan sampai "kampungnya kapolri" justru menjadi daerah konflik di pilkada serentak akibat kecerobohan, ketidaktransparanan dan ketidakpedulian elit kepolisian di Jatim. Selain itu pengSP3an kasus Risma tidak bisa ujug ujug dikeluarkan, melainkan harus ada proses transparansi agar tidak muncul kesan Kepolisian bersikap seenak udelnya dalam melakukan penegakan hukum.