TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berencana merestorasi lahan gambut, untuk mengantisipasi terulangnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kemudian hari.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengatakan program tersebut bisa direalisasikan dengan dana bantuan swasta, sehingga tidak mengganggu kocek negara.
"Sehingga restorasi gambut tidak perlu biaya besar dari APBN, tapi nanti dibiayai program yang sebenarnya sudah lama sekali tertunda," ujar Jusuf Kalla kepada wartawan di kantor Wakil Presiden, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2015).
Program restorasi gambut pembiayaannya bisa diambil dari dana yang tadinya diperuntukan untuk program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Program itu sebelumnya sempat mendapat pembiayaan dari pemerintah Norwegia sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat (AS), namun dihentikan Presiden pada Januari lalu.
Sedikit banyaknya program restorasi lahan gambut, tujuannya sama dengan program REDD+. Namun pemerintah tidak bisa serta merta menggunakan dana tersebut. Jusuf Kalla mengatakan saat ini pemerintah tengah melakukan pengkajian, untuk memanfaatkan dana tersebut untuk program lain.
Bila program restorasi lahan gambut bisa dibiayai dari program REDD+, menurut Jusuf Kalla pemerintah tetap akan mendorong perusahaan-perusahaan yang ikut mengelola lahan di wilayah kahutla, untuk ikut bertanggungjawab adalah menanggulangi masalah.
"Harus bertanggung jawab pada wilayah konsesinya yang bermasalah," terangnya.
Program REDD+ dibubarkan pada Januari lalu, melalui keputusan Presiden Joko Widodo. Kebijakan tersebut diambil melalui pembubaran Badan Pengelola (BP) REDD+. Presiden memutuskan hal tersebut, dengan pertimbangan fungsi BP REDD+ bisa dialihkan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH).
Dari dana sebesar 1 miliar dollar AS yang digelontorkan pemerintah Norwegia, hanya sekitar 970 juta dollar AS yang sempat digunakan, sebelum BP REDD+ dibubarkan pemerintahan Joko Widodo, pada Januari lalu.