TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta para buruh untuk meningkatkan produktivitasnya terlebih dahulu, sebelum menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Suryani SF Motik mengatakan, berdasarkan kacamata pengusaha bahwa hanya di Indonesia yang buruhnya meminta kenaikan UMP setiap tahun tanpa memperhatikan produktifitas.
"Kita boleh saja UMP naik, tapi produktfitasnya dipikirkan juga. Sebab persoalan Indonesia saat ini, bukan hanya persoalan tenaga kerja tapi juga persoalan serapan tenaga kerja, tingkat pengangguran begitu tinggi," tutur Suryani di Jakarta, Sabtu (31/10/2015).
Menurut Suryani, permintaan kenaikan UMP berdasarkan Komponen Hidup Layak (KHL) yang diajukan para buruh terlalu mengada-ada, seperti kebutuhan nonton dan minyak wangi. Pedahal, persoalan yang utama itu kesehatan serta pendidikan.
"Kalau kesehatan sudah ada BPJS dan pendidikan, sekolah juga digratiskan oleh pemerintah. Kalau makan yang sehat dan bergizi itu oke saja kita ikutin, tapi kalau nonton dan parfum enggak masuk akal," tutur Suryani.
Tuntutan UMP yang terlalu tinggi, kata Suryani, juga berdampak kepada perekonomian Indonesia karena investor dalam dan luar negeri akan enggan berinvestasi untuk membangun pabrik.
"Kalau begitu pengangguran akan tinggi, investor milih investasi di Vietnam, Srilangka, atau Kamboja yang lebih murah upahnya dan lebih produktif," kata Suryani.
Kemarin para buruh berdemo di depan Istana Negara meminta agar UMP DKI dinaikan menjadi Rp 3,3 juta. Angka tersebut berdasarkan penghitungan KHL ditambah angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.