TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam mempertanyakan konsep bela negara yang digagas Kemenhan. Pasalnya, bela negara yang dicanangkan Kemenhan terkesan tak beda dengan wajib militer di negara lain.
"Di Indonesia, penduduknya banyak, kenapa tidak tambah saja tentara atau polisi kalau untuk keperluan bela negara? Kalau tujuannuya untuk nasionalisme, penataran itu bisa lewat cara lain, mungkin lebih tepat KKN. Saya kira itu saja dihidupkan lagi," kata Asvi usai diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (1/11/2015).
Menurut Asvi, KKN yang dilakukan para mahasiswa lebih pas untuk menanamkan rasa cinta tanah air. Karena dia terjun langsung ke masyarakat pedesaan. "Itu relevan dengan kondisi sekarang ketika pemerintah sedang memperhatikan desa, dan dana diarahkan desa," kata Asvi.
Dia pun coba membandingkan program yang mirip bela negara di zaman pascakemerdekaan Indonesia. Misalnya pembebasan Irian Barat atau Ganyang Malaysia. Ketika itu, banyak dibuka pendaftaran menjadi relawan.
"Waktu untuk Trikora (Tri Komando Rakyat) pembebasan Irian Barat, dibuka pendaftarannya, ada banyak yang mendaftar dan ada pelatihannya. Juga saat Ganyang Malaysia tahun 1962-1963 pendaftaran juga dilakukan," kata Asvi.
Di sana, kata Asvi, pendafataran membela negara tersebut relevan karena terdapat ancaman kontak atau perang fisik. Namun setelahnya, praktis tak ada ancaman perang yang secara nyata dialami Indonesia.
"Ada konflik seperti Pulau Ligitan, Sipadan, Ambalat, tapi itu bukan konflik yang mengarah ke peperangan. Kalau sukarelawan ke Irian Barat itu untuk merebut Irian Barat, ada perang secara fisik. dan Ganyan Malaysia juga ada ancaman (kontak) fisik," kata Asvi.
Karena itu, dia mempertanyakan program bela negara ini karena konsepnya hampir sama dengan wajib militer. Namun, saat ini perang secara fisik dengan mengangkat senjata sudah tidak ada dialami Indonesia.
Sebaiknya, kata Asvi, program bela negara bila harus berlanjut, dapat digunakan sebagai upaya membebaskan Indonesia yang secara tidak langsung masih menjajah Indonesia. Seperti di sektor sumber daya alam.
"Sekarang begitu banyak lahan yang dikuasai asing. Bung Karno sendiri mengatakan penjajahan sebelum 1945 itu penjajahan fisik. Setelah itu penjajahan tidak langsung. Penjajahnya bisa saja ada di luar negeri. Praktik itu terjadi (di Indonesia saat ini). Harusnya kita bersiap untuk menghadapi itu," imbuh Asvi.