TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang ditandatangani 8 Oktober lalu telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia.
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dalam hal ini mengingatkan agar SE Kapolri itu dalam penerapannya di lapangan, pihak Kepolisian tidak bersikap seperti kembali pada zaman orde baru (Orba). Dimana, gerakan sosial pada waktu itu telah dibungkam dengan mengatasnamakan Undang-Undang (UU).
"Kemajuan proses demokrasi dan mengeluarkan pendapat dan berekspresi di Indonesia jangan dicederai oleh hal-hal yang bersifat over reactive dari pemerintah dan aparat keamanan," kata Presiden KSBSI Mudhofir dalam keterangannya, Selasa (3/11/2015).
Mudhofir mengakui bahwa SE itu merupakan hak dan kewenangan Kapolri karena bersifat internal, sebagai pedoman dan rujukan anggota Polri dalam bertugas di lapangan.
"Itu kan (SE-red) hak Kapolri, silakan saja. Apalagi sifatnya sebagai pedoman pelaksanaan tugas anggota Polri di lapangan," kata Mudhofir.
Namun Mudhofir menilai implementasi SE itu bisa berpotensi membunuh kebebasan berpendapat. Hal yang sama juga ada peraturan Pergub DKI Nomor 228 Tahun 2015 tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka, yang dikeluarkan pemerintah untuk membatasi ruang gerak publik dalam berekspresi.
"Saya kutip pernyataan Wiji Thukul, apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata, lawan,” tandas Mudhofir.