TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah seharusnya menjadi palang pintu yang menahan kapitalisme di garis paling depan dalam mewujudkan demokrasi ekonomi.
Apalagi, bila mengacu pada konstitusi UUD 1945 pasal 33, upaya mewujudkan demokrasi ekonomi harus sesuai asas kekeluargaan dengan menjalankan amanah pasal 33 secara utuh.
"Jangan seperti kasus Pelindo II yang ramai saat ini, BUMN malah jadi pintu ekspansi kapitalisme," kata dosen Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, Rabu (4/11/2015).
Revrisond menegaskan hal itu dalam diskusi bertema "Karut Marut Pelindo II" yang diselenggarakan Forum Kajian Kebijakan Ekonomi Nasional.
Saat diskusi hadir juga Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof Dr Sulistiowati dan peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmi Radhy.
Terkait karut marut Pelindo II, Revrisond Baswir menilai langkah DPR yang kini membahas dalam pansus harus terus didorong.
Revrisond berharap dalam pansus DPR nanti tidak saja berhenti untuk memperjelas masalah perpanjangan kontrak JICT. Akan tetapi, bisa menyentuh masalah mendasar, tata kelola BUMN agar benar-benar sesuai dengan cita-cita mewujudkan demokrasi ekonomi sesuai pasal 33 UUD 1945.
"Saya kira ke depan BUMN tidak bisa lagi dikelola kementerian seperti sekarang.Harus ada super holding BUMN. Kita bisa belajar dari Malaysia, soal pengelola bukan seperti direktur tapi butuh kelembagaan seperti BPK maupun KPK, ada komisioner yang pimpin bukan seorang direktur seperti sekarang," papar Revrisond.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof Dr Sulistiowati, menyatakan semua perjanjian yang berdimensi publik, yang berkaitan dengan kepentingan publik tidak boleh diabaikan.
Sementara terkait dengan perpanjangan waktu kerjasama yang dilakukan oleh Pelindo II (sebagai BUMN) dengan pihak ketiga maka perlu diperhatikan soal itikad baik para pihak.
Mengenai alasan, serta maksud dan tujuan dari perpanjangan waktu 5 tahun sebelum berakhirnya kerjasama.