TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari ini.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki memaparkan mengenai rencana DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dimana UU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
Ruki meminta revisi tersebut tidak melemahkan lembaga anti rasuah itu.
"Revisi tetap dalam rangka memperkuat kelembagaan KPK, bukan untuk melakukan pelemahan terhadap lembaga KPK," kata Ruki di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Ruki menuturkan penguatan kelembagaan tersebut harus berfokus kepada penguatan beberapa ketentuan dalam UU KPK.
Pertama mengenai kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Ia menilai diperlukannya audit penyadapan KPK tetapi tidak perlu adanya izin pengadilan. Kedua, pembentukan dewan pengawas KPK.
Ruki meminta dewan pengawas berada diluar struktur organisasi KPK.
Ketiga, mengenai kewenangan KPK dalam mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3). Dia tidak setuju jika KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan karena kurangnya alat bukti.
"Kalau sudah menetapkan tersangka, lalu kemudian tiba-tiba bisa SP3 itu sama saja," kata Ruki.
Ruki setuju KPK bisa mengeluarkan SP3 apabila atas alasan manusiawi.
Misalnya tersangka sudah meninggal dunia atau struk berat.
"Kalau sudah meninggal dan stroke berat maka kita tidak mausiawi juga. KPK bisa hentikan dengan tetap mendengar dewan pengawas," katanya
Keempat, mengenai kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum.
"KPK tetap memiliki kewenangan untuk mengangkat penyidiknya. Namanya bukan penyidik independen, tapi penyidik KPK," ujarnya.