TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menggelar rapat dengan ahli bahasa Dr H Yayah Bacharia terkait kasus Ketua DPR Setya Novanto.
Yayah dihadirkan MKD untuk memberikan penjelasan mengenai legal standing Menteri ESDM Sudirman Said yang melaporkan Ketua DPR Setya Novanto dalam dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden terkait PT Freeport Indonesia.
Awalnya, MKD menanyakan legalitas Yayah sebagai pakar bahasa. Yayah menegaskan bahwa dirinya adalah sosiolinguis, ahli yang melihat bahasa dari situasi sosial
"Saya Sosio linguist. Beberapa kali menjadi saksi ahli. Saya melihat bahasa dari konteks sosial. Saya melihat bahasa tidak bebas dan monolitik. Karena ini bahasa hukum Indonesia bukan bahasa Indonesia hukum," kata Yayah di ruang rapat MKD, Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/11/2015).
Permasalahan yang dipersoalkan MKD yakni Sudirman diduga tidak memiliki legal standing berdasarkan Bab IV Pasal 5 ayat (1) tentang tata beracara MKD. Dalam pasal itu disebutkan Laporan dapat disampaikan oleh a; Pimpinan DPR atas aduan anggota terhadap anggota. b; Anggota terhadap pimpinan DPR atau Pimpinan AKD; dan/atau c. masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap Anggota, Pimpinan DPR, atau Pimpinan AKD. Pasalnya Sudirman melaporkan Novanto bukan sebagai individu masyarakat melainkan Menteri ESDM.
"Saya diminta datang kemarin sore, membantu menjelaskan konteks bahasa dalam pasal yang disampaikan. Lewat surat itu ada dua yang diminta, dari pasal 126 ayat 1 dan pasal 5 berkaitan dengan kata 'dapat'. Yang diminta pada saya konteks kata 'dapat'," tutur Yayah.
Yayah mengaku berpedoman atau menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ia lalu menganalisis tentang kata 'dapat' yang dimaksud dalam aturan MKD tersebut.
"Fokus pertama kata 'dapat'. Dalam konteks struktur kalimat yang dimaksud, makna kata 'dapat' adalah 'bisa' atau 'boleh'. Dalam kamus menyatakan bahwa kata dapat adalah bisa dan boleh. Namun karena socio linguist, NKRI itu masyarakat termasuk secara nasional secara kemasyarakatan, bilingual," tuturnya.
Oleh karena itu, lanjut Yayah, kata bisa diberi tanda untuk dikeluarkan dari konteks makna kata dapat, bukan karena maknanya tapi karena bentuk kata itu tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menuntut hukum dengan bahasa resmi.
"Saya juga melihat kata boleh. Kata boleh menjadi bagian makna kata dapat. Kata boleh saya telusuri. Dalam kamus, kata boleh bermakna dapat. Bahkan ada makna sejalan dengan itu yaitu, boleh juga bersinonim dengan diizinkan dan bersinonim atau berpadanan dengan tidak dilarang," imbuhnya.
Kemudian, kata Yayah, pengaduan kepada MKD dapat disampaikan oleh, sama dengan boleh disampaikan atau diizinkan disampaikan oleh dan tidak dilarang disampaikan oleh. "Makna yang berpadanan untuk kata dapat. Dengan kata lain, untuk membaca konteks pengaduan dapat disampaikan oleh dapat bersulihan, boleh disampaikan, diizinkan disampaikan, tidak dilarang disampaikan dan sesuai tertera, dapat disampaikan," ujarnya.
Mengenai pengertian pengadu, Yahya menjelaskan kata tersebut dimaksud setiap orang. Sehingga siapapin orang bisa mengadu. "Jadi bagi saya, konteks masyarakat secara perseorangan adalah perseorangan sebagai masyarakat yang sama maknanya dengan setiap orang berhak mengadu kepada MKD," imbuhnya.
Oleh karenanya, Menteri ESDM Sudirman Said dapat dimaksudkan sebagai pengadu ke MKD. Sehingga Sudirman tidak dilarang melapor ke MKD.
"Jadi tidak dilarang, diizinkan disampaikan oleh Pak Menteri misalnya. Atau boleh disampaikan menteri. Karena konteks itu,"kata Yahya.