TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR Setya Novanto dinilai tak layak dibela. Indikasi pelanggaran kode etik oleh Setya dalam kasus “Papa Minta Saham” yang kini tengah diproses oleh Mahamah Kehormatan Dewan (MKD), terlihat begitu mencolok. Rekaman pembicaraan antara Setya Novanto dengan pejabat PT Freeport dan seorang pengusaha lain, mengindikasikan Ketua DPR itu berniat memanfaatkan akses jabatannya guna memupuk kepentingan pribadi.
“Sepertinya Setya Novanto ini berniat memiliki saham dari PT Freeport, sudah gitu mencatut nama presiden dan wakil presiden pula,” kata Anggota Komisi III Sahat Silaban, Kamis (26/11/2015).
Oleh karena itu, menurut Sahat, Setya tak layak dibela, apalagi secara membabi buta.
Fenomena ini, menurutnya, seperti terlihat dari apa yang dilakukan oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Dua nama tersebut memang dikenal nyaring menyampaikan pembelaannya terhadap Setya. Fadli Zon, misalnya, justru menyebut Sudirman Said yang melanggar hukum dengan tindakannya melaporkan Setya Novanto ke MKD.
Tak kalah sengitnya, Fahri Hamzah menganggap laporan Sudirman Said telah mengganggu kinerja parlemen. Keduanya bersikap seolah Setya Novanto tak berbuat salah barang sehelai rambut pun.
Sahat Silaban memandang kedua pimpinan DPR itu tak bisa memilah jabatan dengan urusan pribadinya. “Fadli Zon dan Fahri Hamzah tidak menempatkan diri sebagai Wakil Ketua DPR,” imbuh anggota DPR dari Sumatera Utara ini.
Sahat menjelaskan, Fadli dan Fahri secara pribadi mungkin berkawan dan berhubungan dekat dengan Setya Novanto, tapi di sisi lain mereka juga wakil rakyat. Dalam kacamata itu, menurutnya, mereka mestinya bersikap dan berkomentar demi kepentingan rakyat banyak, tidak hanya berdasar kedekatannya dengan Ketua DPR.
Apalagi kedua nama tersebut bukan sekadar anggota DPR, tapi juga Wakil Ketua DPR. Selayaknya mereka lebih disiplin memilah kepentingan pribadi dengan amanah jabatannya.
Dalam hemat Sahat, para pejabat itu terpilih untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, bukan mencari keuntungan pribadi. Ketika Setya Novanto memanfaatkan jabatannya demi keuntungan pribadi, itu tak layak dibela sama sekali.
Terakhir, Sahat mengimbau seluruh fraksi di DPR agar mendukung gerakan mosi tidak percaya terhadap Ketua DPR yang saat ini tengah bergulir. Mosi itu digerakkan oleh beberapa anggota dewan lintas fraksi sebagai ekspresi ketidakpercayaan mereka terhadap pimpinan DPR yang dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik dan penyimpangan terhadap sumpah jabatannya.
“10 fraksi yang ada, tak ada lagi istilah KIH (Koalisi Indonesia Hebat), KMP (Koalisi Merah Putih). Seharusnya melihat kasus Setya Novanto berdasar kepentingan rakyat. Kalau ada mosi tidak percaya terhadap pimpinan yang melakukan pelanggaran, seharusnya mendukung,” pungkas Sahat.