Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki berharap tindak pidana korupsi tidak masuk dalam Undang Undang KUHP.
Tindak pidana korupsi sebaiknya masuk dalam tindak pidana khusus seperti narkotika dan terorisme.
"Tindak pidana khusus adalah beberapa perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang ditempatkan pada buku-buku dan kitab-kitab yang berbeda. Di situ hukum pidana materinya diatur, dan hukum pidana formilnya juga diatur. Itu lex specialis," kata Ruki dalam diskusi panel RUU KUHP di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Jumat (27/11/2015).
Ruki mengatakan dengan masuknya kejahatan korupsi kedalam tindak pidana khusus maka harapannya KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama.
Sehingga tidak ada lagi pembedaan antar ketiga institusi penegak hukum dalam mengusut kasus korupsi.
Ia mengungkapkan adanya keluhan dari kepolisian dan kejaksaan dimana untuk mengusut kasus korupsi harus meminta izin kepada presiden.
Sedangkan KPK tidak memerlukan izin tersebut.
"Ketika kejaksaan dan kepolisian diberi kewenangan oleh Undang Undang untuk menyidik tindak pidana korupsi, kenapa fungsinya berbeda dengan KPK. Sama kan saja, di tempat yang sama," ujarnya.
Ia mencontohkan dengan tidak adanya perbedaan kewenangan maka ketiga institusi itu bisa berkompetisi dalam mengusut kasus korupsi.
"Jadi tidak terjadi perbedaan perlakuan. Misalnya kalau disidik KPK enggak ada tahanan luar, kalau kepolisian ada penangguhan penahanan. Mari kita lakukan yang sama. Tidak boleh SP3 dan tidak boleh tahanan luar," tuturnya.