TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana TNI Angkatan Udara membeli tiga unit helikopter AgustaWestland AW101 VVIP menggantikan NAS-332 Super Puma, menuai kritik.
Di antaranya karena dikabarkan akan jadi helikopter operasional Presiden Joko Widodo, riskan tingkat keamanan, pemborosan uang negara hingga menyalahi UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan karena tidak menggunakan produk atau rakitan perusahaan dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Ditemui Tribunnews.com di Jalan Diponegoro no 34, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/11/2015), Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Agus Supriatna menegaskan, pengadaan tiga unit helikopter AW101 VVIP dari sembilan unit yang diajukan oleh TNI AU bukan diperuntukkan khusus bagi Presiden RI, Joko Widodo.
Helikopter angkut berat tersebut adalah untuk mengangkut barang dan pasukan agar lebih cepat, yang dimintakan ada penambahan kursi untuk penumpang VVIP sebagaimana permintaan skuadron VVIP. Dan peruntukannya tidak khusus untuk Presiden dan Wakil Presiden, melainkan tamu negara kategori VVIP, termasuk di antaranya Panglima TNI untuk tugas mendesak.
"Jadi, awalnya itu tidak. Tidak ada heli khusus untuk sendiri (presiden). Hanya memang untuk penumpang VVIP jelas harus ada kursi , tidak seperti heli angkut pasukan yang lain," ujarnya.
Lagipula, lanjut Agus, pengadaan pesawat dan helikopter kepresidenan merupakan kewenanangan Sekretariat Negara, bukan TNI AU.
"Sementara, ini bukan helikopter kepresidenan. Tapi, ini untuk kebutuhan kami, untuk heli angkut berat, di mana hasil kajian Skuadron VVIP kami juga minta helikopter baru," tandasnya.
Dengan penjelasan latar belakang dan alasan ini, Agus berharap semua pihak tak lagi mengaitkan pengadaan helikopter AW101 VVIP ini sebagai pesawat keperesidenan.