TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim jaksa yang menjadi pihak termohon dalam sidang permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Baasyir menyatakan keberatan atas pelimpahan yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pelimpahan sidang yang sedianya berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, menurut anggota Tim jaksa Anita Dewiyani, seharusnya tidak dilakukan sebelum pemohon peninjauan kembali secara personal hadir dalam persidangan.
"Kami merasa keberatan majelis, karena sesuai SEMA permohonan PK tidak boleh diperiksa sebelum pemohon in persona hadir di persidangan," kata jaksa Anita Dewiyani di Ruang Sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/12/2015).
SEMA yang dimaksud adalah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun yang intinya menjelaskan bahwa permohonan PK tidak dapat diperiksa sebelum pemohon secara pribadi hadir dalam persidangan.
Menanggapi keberatan dari pihak termohon, hakim ketua Achmad Rivai mencatat keberatan tersebut dan memasukkannya dalam berita acara persidangan.
Terkait upaya menghadirkan Abu Bakar Baasyir, jaksa menyebutkan bukan menjadi kewenangan mereka lagi.
"Yang bersangkutan bukan kewenangan kami lagi untuk dihadirkan ke persidangan karena sudah dieksekusi. Itu sudah jadi kewenangan Kalapas (Nusakambangan)," katanya.
Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Abu Bakar Baasyir hukuman15 tahun penjara. Atas putusan tersebut, Baasyir telah mengajukan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam putusan banding pimpinan Pesantren Al Mukmin Nguruki, Jawa Tengah, Baasyir diputus dengan hukuman sembilan tahun penjara.
Pada putusan kasasi di Mahkamah Agung, Oktober 2011, hasil banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dibatalkan sehingga masa hukuman Baasyir kembali menjadi 15 tahun.
Menanggapi hasil kasasi tersebut, Baasyir mengajukan permohonan peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baasyir dipidana atas pengumpulan dana sebesar Rp 350 juta untuk pelatihan kelompok militan di Bukit Jantho, Aceh Besar.