Oleh: Laksamana Sukardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setiap orang memiliki nilai kehormatan yang subyektif dan obyektif, bergantung pada karakter, prestasi, kontribusi, dan hubungan kekeluargaan.
Dalam hubungan hierarkis, seorang anak secara alamiah menghormati orangtua, pegawai menghormati atasan, santri menghormati kiai, dan murid menghormati guru. Kehormatan itu bisa dikatakan subyektif.
Dalam hal hubungan horizontal, misalnya antarsesama profesi, kehormatan dinilai dari prestasi. Mahasiswa yang punya nilai akademis tinggi pasti dihormati sesama mahasiswa.
Para ilmuwan mendapat kehormatan penghargaan Nobel jika menemukan sebuah teori yang berpotensi mengubah kehidupan umat manusia.
Yang patut dipertanyakan tak hanya bagaimana mendapatkan kehormatan, tetapi bagaimana kehormatan bisa hilang. Dalam hubungan perkawinan, suami akan kehilangan kehormatannya di mata istri jika tepergok berselingkuh atau memiliki wanita idaman lain.
Akan tetapi, yang bersangkutan mungkin saja justru mendapat kehormatan dari wanita selingkuhannya karena jadi sumber rezeki, berbaik hati membelikan mobil, rumah, dan memberi saham perusahaan.
Dari uraian itu dapat disimpulkan, kehormatan ternyata sebuah penilaian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain atau kelompok lain.
Dalam hubungan vertikal, kehormatan umumnya bersifat kewajiban, seperti anak menghormati orangtua, murid menghormati guru; dalam hal ini faktor adat dan budaya berperan penting. Termasuk budaya malu yang berbeda tingkatannya. Misalnya budaya malu di Jepang berbeda tingkatannya dengan budaya malu di Indonesia.
Dalam hubungan horizontal, dalam sebuah komunitas atau organisasi profesional, kehormatan lebih bersifat obyektif, yaitu bergantung pada karakter, perilaku, dan prestasi anggotanya.
Perilaku dan prestasi itu umumnya sudah baku dan jelas. Kehormatan terhadap anggota atau sebuah organisasi merupakan pengakuan terhadap prestasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun, kehormatan adalah sesuatu yang subyektif, bergantung pada sudut pandang mana seseorang dilihat. Artinya, ada unsur dua arah: timbal balik dan sebab akibat. Utamanya, kehormatan dilahirkan dari sebuah pengabdian dan pemberian kepercayaan yang bersifat timbal balik.
Pasangan suami-istri yang saling mengabdi dan saling percaya akan menerima kehormatan yang bersifat timbal balik.
Seorang dokter harus dipercaya dan dihormati pasiennya untuk memberikan kesembuhan kepada pasien. Jika sang dokter memiliki reputasi jelek, pasien tak akan datang dan memercayainya, atau dengan kata lain tidak dihormati pasien.