TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus partai Demokrat Ruhut Sitompul menilai wajar Presiden Joko Widodo marah terkait pencatutan nama yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.
Ia menilai pembicaraan Novanto dengan pengusaha Riza Chalid sudah berlebihan.
"Ya itu kan presiden, dia manusia. Untuk jadi presiden karena kehendak Tuhan. Tapi harga diri, dia dipermainkan wajar kok marah. MKD sibuk berkutat yang enggak-enggak. Riza sudah lari, perlu di DPO (Daftar Pencarian Orang)-kan itu," kata Ruhut ketika dikonfirmasi, Selasa (8/12/2015).
Ia mengingatkan Kejaksaan Agung untuk membantu Presiden Joko Widodo.
Apalagi, Jaksa Agung merupakan pembantu presiden sehingga bisa melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
"Presiden sebagai atasan mereka ngomong begitu sudah marah. Mereka harus cepat jemput bola.
Apalagi jaksa agung bilang ini delik aduan, jemput bola panggil saja Novanto. Kan sudah dengar keterangan SS (Sudirman Said) dan Maroef, Apalagi?"ujarnya.
Sebelumnya saat di Istana Negara, suara Presiden Joko Widodo meninggi ketika menanggapi pertanyaan awak media seputar kelanjutan kasus pencatutan nama yang dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto atau sering disebut 'Papa Minta Saham'. Wajah Presiden terlihat marah.
Tangannya sambil menunjuk ke arah awak media, meski tidak bermaksud memarahi media. Suaranya pun terdengar tegas, hingga suasana menjadi hening
"Sudah saya sampaikan, tidak boleh lembaga negara itu dipermainkan. Itu bisa Presiden dan lembaga negara yang lain," ujar Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12/2015).
Presiden mengatakan tidak masalah jika ada yang menghina dirinya seperti yang terdengar di rekaman diduga suara pengusaha Riza Chalid yang sedang berbincang dengan Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia,Maroef Sjamsoeddin.
"Saya enggak apa-apa katakan Presiden gila, sarap, koppig," kata Presiden.
Namun, Presiden menegaskan, dirinya tidak menyukai jika ada yang mencatut namanya, apalagi meminta saham sebesar 11 persen.
Sebab menurutnya hal itu melanggar etika dan bertentangan dengan moralitas.
"Tapi kalau menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen itu saya enggak mau. Enggak bisa! Ini masalah kepatutan, kepantasan, etika, moralitas dan itu masalah wibawa negara," kata Presiden