TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan kronologi posisinya terkait kontrak karya PT Freeport Indonesia di Papua dalam sidang etik kasus 'Papa Minta Saham' Ketua DPR Setya Novanto di Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/12/2015).
Ia mengaku saat menjabat Kepala Staf Kepresidenan pernah 'mengingatkan' Presiden Jokowi melalui memo pada 15 Mei dan 17 Juni 2015, bahwa pembahasan atau renegosiasi kontrak karya PT Freeport antara pemerintah dan PTFI baru bisa dilakukan paling cepat dua tahun sebelum masa kontrak berakhir pada 2021 atau 2019, sebagaimana perundang-undangan.
Memo itu dikirimkan menyusul adanya pro kontra dan upaya perpanjangan kontrak perusahaan AS tersebut sebelum kontrak berakhir pada 2021.
"Pada 17 Juni, saya kembali memberi memo, karena saya lihat di luar ada upaya untuk memperpanjang sebelum waktu yang melanggar undang-undang, yang akhirnya membahayakan posisi pemerintah," kata Luhut.
Menurut Luhut, memo 'warning' darinya untuk Presiden Joko Widodo itu adalah hasil analisisnya terhadap perkembangan yang terjadi di media massa.
Menurut Luhut, sebelum itu dirinya juga pernah menyampaikan hal yang sama kepada Presiden dalam rapat kabinet pada 16 Maret 2015, bahwa perpanjangan kontrak PT Freeport perlu dikaji secara mendalam karena ada sejumlah perundang-undangan terkait.
Selain itu, Luhut melalui stafnya, Lambok Nahattand juga pernah menyampaikan ke presiden perihal yang sama.
Dengan penyampaian kronologi dan penjelasan ini, Luhut berharap anggota MKD bisa melihat jelas posisinya terkait skandal 'Papa Minta Saham' sebagaimana rekaman yang beredar bahwa dirinya terkesan turut terlibat yang turut dalam skandal tersebut.
"Jadi, saya mohon Yang Mulia, jelas posisi saya di situ. Posisi saya jelas tidak pernah bergeser dari itu." ujarnya.