News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eks Kasum TNI: Program Bela Negara Tidak Harus Dilakukan dengan Cara-cara Militer

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PANGLIMA TNI : 70 PERSEN KONFLIK DI DUNIA BERLATAR BELAKANG ENERGI - Peta konflik dunia pada masa depan akan mengalami pergeseran seiring dengan habisnya sumber energi fosil. Konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh masalah yang berlatar belakang penguasaan energi, lebih dari 70 persen konflik di dunia berlatar belakang energi. Demikian dikatakan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dihadapan 2000 anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) saat menjadi pembicara dalam Sosialisai Empat Pilar MPR RI dan Seminar Bela Negara yang diprakarsai oleh Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (IARMI) di Hotel Four Point Sheraton Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/12/2015). TRIBUNNEWS.COM/Puspen NTI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letnan Jenderal (Purn) J Suryo Prabowo angkat bicara mengenai Hari Bela Negara yang biasa diperingati pada 19 Desember hari ini.

Menurut Suryo, program bela negara yang ada sekarang ini mestinya tak hanya diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI saja.

Program bela negara, juga tak harus dilakukan dengan cara-cara militer, dan materi pendidikan bela negara pun tidak hanya latihan berbaris dan menembak.

"Program bela negara sekarang ini tidak harus dilakukan dengan cara-cara militer saja, dan penyelenggaranya tidak hanya Kemhan dan TNI. Materi pendidikan bela negara juga tidak hanya berbaris dan menembak," ujar Suryo dalam pernyataannya di Jakarta, Sabtu (19/12/2015).

Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat ini menjelaskan, perang semesta itu bukan berarti TNI bertempur habis-habisan bersama dengan rakyat, ketika tentara agresor telah menduduki wilayah NKRI.

Pelibatan rakyat dalam perang semesta juga tidak harus menjadikan mereka sebagai kekuatan kombatan bersenjata

Perang, ucap Suryo, bukan hanya pertempuran bersenjata (battle).

Perang juga bukan hanya terjadi ketika suatu negara menghadapi invasi dari tentara agresor.

Perang itu, ucapnya, bisa terjadi dengan cara-cara militer dan non-militer.

"Bagi Indonesia seharusnya perang dipahami sebagai konflik apa saja yang mengganggu keutuhan wilayah, dan kedaulatan NKRI, serta integritas Bangsa Indonesia," kata mantan Pangdam Jaya ini.

Terlebih, sejarah Indonesia mencatat peperangan yang pernah terjadi di nusantara ini seluruhnya berasal dari 'dalam'. Bukan 'dari luar ke dalam'.

Agresi militer Belanda I dan II, katanya dilakukan di dalam wilayah NKRI.

Begitu pula pemberontakan bersenjata, atau pun gerakan separatis bersenjata, seluruhnya 'berasal dari dalam'.

"Dan, pemberontakan atau gerakan sparatis yang pernah terjadi itu seluruhnya adalah proxy-war karena dibantu AS-Inggris (ASing), guna menguntungkan kepentingannya," ucap Suryo.

Mantan Pangdam Bukit Barisan ini pun mengingatkan, tanpa bertempur saja Indonesia pernah kalah perang. Indonesia kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan karena kalah di Mahkamah Internasional.

Indonesia juga kalah dalam perang ekonomi dan budaya yang berakibat pada terusiknya kedaulatan ekonomi dan pangan serta semakin pudarnya budaya kita.

Bahkan, Indonesia juga kalah dalam perang Ideologi, sehingga Pancasila sudah banyak dilupakan.

"Karenanya, perang seperti itu harusnya dihadapi secara semesta dengan melibatkan segenap Rakyat Indonesia sesuai profesinya masing-masing. Catat, sesuai profesinya! Sebagai penjuru dalam perang semesta seperti ini tentunya bukan Kemhan saja, tetapi instansi-instansi terkait, sesuai amanat UU 3/2002 pasal 7 ayat 3," kata peraih Adhi Makayasa 1986 ini.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini