TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mempersoalkan rencana pemberian amnesti kepada kelompok Din Minimi, kelompok separatis di Aceh setelah berhasil dibujuk turun gunung oleh Kepala BIN Sutiyoso.
Pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo melihat hal itu bukan masalah yang mendasar.
Dalam demokrasi, perbedaan pandangan itu wajar saja, yang penting asas kemanfaatan yang lebih besar harus menjadi pertimbangan.
"Dalam hal ini Kapolri benar bahwa memang Kepala BIN tidak memiliki wewenang memberikan amnesti, karena wewenang itu ada di Presiden. Tetapi Bang Yos juga tidak bisa disalahkan, kalau dalam nego-nego itu disinggung soal amnesti. Kalaupun Bang Yos menyinggung soal amnesti, itu pasti dalam kerangka menawarkan sesuatu agar bujukannya ini berhasil. Itu sah saja karena Bang Yos sebagai pembantu Presiden melaksanakan apa yang menjadi keinginan Presiden agar konflik ditangani tanpa ada kekerasan. Tidak mungkin orang itu akan terbujuk kalau tidak ada tawaran-tawaran yang menguntungkan dirinya," kata Karyono Wibowo di Jakarta, Rabu (30/12/2015).
Oleh karena kewenangan amnesti ada di Presiden, kata Karyono, tugas Bang Yos sekarang adalah meyakinkan Presiden bahwa kelompok Din Minimi ini layak untuk diberikan amnesti.
"Bang Yos dan timnya harus memberikan data-data akurat bahwa kelompok Din Minimi ini sudah bertobat, sudah mau kembali ke jalan yang benar, tidak mengulangi perbuatannya dan akan mengajak serta anggota lainnya yang masih di hutan. Saya kira Bang Yos memiliki kapasitas untuk melakukan itu," tuturnya.
Masih kata Karyono, ia menilai langkah Kepala BIN Sutiyoso menemui kelompok Din Minimi yang dianggap kelompok separatis Aceh kemudian berhasil membujuk untuk menyerahkan diri, menunjukkan adanya perubahan paradigma BIN dibawah kendali Sutiyoso, dalam menyelesaikan masalah dengan kelompok separatis.
"Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ini patut diapresiasi. Saya lihat Bang Yos dan BIN ingin merubah paradigma yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik dari security approach atau pendekatan keamanan yang represif menjadi pendekatan dialogis dengan merangkul kelompok atau tokoh yang dianggap memiliki konflik dengan pemerintah," ujarnya.
Kelebihan penyelesaian masalah dengan pendekatan dialogis ini, lanjut Karyono, selain meniadakan jumlah korban jiwa, cara ini juga dianggap lebih manusiawi dan beradab.
"Siapa tahu dengan pendekatan kemanusiaan seperti ini, akan menyentuh anggota lain untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Berbeda dengan pendekatan represif yang akan menimbulkan korban jiwa dan balas dendam berkepanjangan," katanya.
Jika pendekatan ini berhasil menyelesaikan masalah, ujar Karyono, penyelesaian masalah dengan model ini dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik separatis di Papua, atau bahkan dengan kelompok radikal atau teroris.
Namun demikian dia menyarankan Bang Yos dan BIN, sebelum memutuskan untuk melakukan pendekatan dialogis, BIN harus memiliki catatan-catatan dan data-data yang akurat mengenai gerakan kelompok ini.
"Harus ada kajian dan tahap-tahap yang dilalui sebelum BIN menentukan kebijakan untuk melakukan dialog dengan kelompok ini," tuturnya.
Dia juga mengingatkan sisi negatif dari pendekatan dialogis‎. Karena BIN harus hati-hati, jangan sampai upaya dialogis justru akan dimanfaatkan oleh kelompok radikal, separatis dan teroris yang mengancam keamanan negara, melihat bahwa BIN ini lemah. Ini bisa berbahaya.
"Sebagai alat negara, BIN tidak boleh lemah dan lengah. Ketika BIN lemah dan lengah, ini akan menjadi ancaman bagi keamanan negara," tandasnya.