TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap Golkar kubu Aburizal Bakrie (Ical) memberikan sanksi kepada Akbar Tandjung makin menunjukkan sikapnya yang anti-dialog dan otoriter.
Pengamat Politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai sikap kubu Aburizal itu terlalu berlebihan.
"Sikap DPP Ical tersebut kurang tepat, mengingat Pak Akbar adalah ketua dewan pertimbangannya," ujar Sebastian kepada Tribunnews.com, Selasa (5/1/2015).
Apalagi kata dia, usul Akbar Tanjung adalah bagian dari tawaran solusi alternatif terhadap persoalan Golkar yang tak kunjung selesai.
Jangankan dewan pertimbangan, lanjut dia, semua unsur di partai Golkar termasuk stakeholdernya boleh saja menyampaikan usulan, pikiran dan pandangannya dalam rangka mencari jalan keluar terhadap persoalan partainya.
Justru DPP seharusnya mendengarkan berbagai masukan agar persoalan dapat diselesaikan. Bukan malah memberi sanksi.
"Sanksi tersebut pasti tidak ada maknanya dan Pak Akbar pasti tidak mempedulikannya. Tetapi dengan demikian, justru terlihat sikap Pak Ical yang anti dinamika, menolak dialog dan otoriter," dia menilai.
Justru, tegas dia, karena DPP Ical tidak mampu menyelesaikan konflik internalnya, sehingga masalah partai tersebut berlarut-larut.
"Kalau seandainya Pak Ical mau mendengar masukan berbagai pihak makan masalahnya tidak semakin parah seperti sekarang ini," sarannya.
Karena itu, sebaiknya Ical mengumpulkan semua unsur di Golkar, urung rembuk untuk mencari jalan terbaik.
Usulan Munas bersama sangat realistis untuk mengakomodasi kelompok yang berbeda selama ini.
"Hal ini dapat terlaksana kalau Pak Ical tidak mempertahankan ego dan mendahulukan kepentingan partai," pesannya.
Partai Golkar hasil Munas Bali memberi sanksi teguran kepada Akbar karena terus mendesak pelaksanaan Munas Golkar.
Hal ini disepakati dalam rapat konsolidasi nasional antara elite DPP Golkar dan para Ketua DPD I di Sanur, Bali, Senin (4/12/2015).
"Dalam rangka menjaga marwah dan martabat partai, akhirnya DPD I memberikan rekomendasi kepada DPP untuk memberi teguran kepada Akbar Tandjung selaku Ketua Dewan Pertimbangan," kata Wakil Ketua Umum DPP Golkar hasil Munas Bali, Nurdin Halid, saat dihubungi.
Nurdin mengatakan, bukan kewenangan Akbar untuk mendesak pelaksanaan munas bersama dengan kubu Agung Laksono.
Berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, keputusan untuk mempercepat waktu pelaksanaan munas sepenuhnya ada di tangan para Ketua DPD I.
Munas bisa digelar sebelum tahun 2019, apabila minimal dua pertiga DPD I memberikan persetujuan.
Namun, semua Ketua DPD I disebut menolak digelarnya munas sebelum berakhirnya masa jabatan Aburizal sebagai Ketum pada 2019.
__._,_.___