Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang Parlas Nababan yang memenangkan PT Bumi Mekar Hijau dalam sidang perdata dengan mengatakan bahwa kebakaran hutan tidak merusak, sangat mengejutkan masyarakat.
Pernyataan Parlas soal lingkungan hidup maupun relasi sosial masyarakat dan hutan yang terbakar bisa ditanami tumbuhan lagi, membuktikan bahwa langkah penegakan hukum masih belum koordinatif dan koheren.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, jalur perdata yang ditempuh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dimulai dibulan Maret 2015 sejatinya amat tidak strategis apabila publik mengetahui bahwa ada jalur pidana yang lebih strategis, mengikat dan menempatkan penegakan hukum dalam supremasi yang lebih tinggi ketimbang lobi korporasi.
"Ada banyak faktor mengapa gugatan KLKH pesimis untuk menang, selain hakim yang tidak cakap dalam mengejar kejahatan korporasi dan argumentasi KLKH yang tidak cukup menggigit BMH untuk mau bertanggungjawab," kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam keterangan yang diterima, Minggu (10/1/2016).
Namun demikian, KontraS melalui mekanisme resmi kenegaraan yang lain, yaitu Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008) sebenarnya telah melihat celah proses penegakan hukum yang bisa melibatkan ruang partisipasi publik di dalamnya.
Haris mengatakan, sepanjang tiga bulan terakhir (November hingga Desember 2015), KontraS telah berkomunikasi aktif melalui mekanisme KIP ini dengan tujuh Kepolisian Daerah di wilayah Sumatera dan Kalimantan (Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat) serta satu komunikasi dengan Mabes Polri.
"Kami menemukan bahwa setidaknya terdapat 205 pelaku perorangan yang terlibat dalam kejahatan pembakaran hutan, dimana Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau menjadi wilayah dengan jumlah pelaku yang tinggi," katanya.
Selain itu terdapat 19 orang pelaku yang memiliki latar belakang korporasi; dengan sebaran wilayah kejahatan 14.882,07 hektare yang potensial dipidanakan (minus Kalimantan Timur dan Barat yang tidak ada informasi); dan 86 kasus telah berada dalam tahap I penyidikan.
"Pola kejahatan yang ditemukan adalah, pembiaran perusahaan terhadap lahan ataupun semak dimusim kemarau yang riskan terbakar, perusahaan tidak melakukan tindak pemadaman api, dengan sengaja melakukan penebangan hutan, tersangka individu melakukan pembukaan hutan dengan sengaja menebang hutan dan semak belukar di wilayah konsesi tanpa izin, titik api yang meluas dan membakar kebun perusahaan tetangga dan membiarkan pohon akasia kering dan terbakar dimusim kemarau," katanya.
Namun demikian belum terlibat pola kejahatan yang solid dan menunjukkan adanya modus operandi yang dilakukan oleh korporasi dalam dugaan praktik pembakaran hutan.
Beberapa Polda seperti Jambi dan Kalimantan Selatan amat progresif dan bekerja sama dalam memberikan informasi ini. Polda-Polda lainnya seperti Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Timur dan Tengah tidak memberikan data yang informatif. Sedangkan Polda di Kalimantan Barat bahkan tidak menjawab sama sekali proses komunikasi KIP. Mabes Polri menggunakan dalih Pasal 17 (ayat a poin 1 dan 2) untuk menolak memberikan informasi karena terkait dengan penyidikan.