TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali disibukkan dengan sidang penyelesaian sengketa pilkada. Namun, dalam proses penyelesaian sengketa pilkada di MK harus mengacu pada aturan serta UU yang berlaku.
"Pasca UU Pilkada, ada aturan yang membatasi syarat pengajuan sengketa pilkada hanya 0,5 persen sampai 2 persen selisih suara antara paslon pemenang dengan pasangan calon yang mengajukan sengketa dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota," kata Sekretaris Jenderal Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Achmad Saifudin Firdaus, Selasa (12/1/2016).
Saifudin mengkritik pernyataan Ketua MK Arif Hidayat yang tidak mau memproses sengketa pilkada jika selisih suara tidak 0,5 sampai 2 persen. Alasan MK hanya mengacu pada UU yang berlaku.
"Pernyataan Ketua MK tersebut mengakibatkan MK terjebak dalam keadilan prosedural dimana seharusnya kedudukan MK sebagai The Guardian of The Constitution, menjadi turun tingkatannya hanya sebagai corong Undang-Undang, hal ini merupakan preseden buruk bagi perjalanan MK ke depan," katanya.
Padahal, kata Saifudin, konsep hakim bukan sekedar corong undang-undang tetapi dalam situasi tertentu dapat melampaui undang-undang atau dapat menerobos undang-undang dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan atau HAM untuk menemukan hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang ditanganinya.
"Artinya jika dengan dasar MK harus tunduk pada ketentuan Pasal 158 UU Pilkada lalu mengabaikan kecurangan-kecurangan yang nyata terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada yang berakibat rusaknya kualitas pilkada serta runtuhnya proses demokrasi dalam penyelenggaraan pilkada dimana telah diamanatkan dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih secara Demokratis. Maka sejatinya MK sebagai “The Guardian of The Constitution” telah mengkhianati amanat Konstitusi itu sendiri," ungkapnya.