Laporan Wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo menyebutkan pusat kegiatan kemiliteran yang selanjutnya berisiko menjadi sasaran aksi teror.
Hal itu disimpulkan Hermawan setelah mengamati pola serangan kelompok teror secara global sejak 1970-an.
"Dari kelompok teror Red Brigades tahun 1970-an, serangan mereka ada polanya," kata Hermawan di Gedung Widyagraha LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Pada awalnya, kelompok teror biasanya menyerang ruang publik yang relatif kosong.
Pria yang akrab disapa Kiki ini mencontohkan untuk kasus Indonesia, pola serangan ini terjadi saat pengeboman di tempat parkir Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada September 2000 silam.
Setelah pelaku teror menganggap dirinya berhasil melakukan aksi di ruang publik yang sepi, Kiki menjelaskan, mereka akan beranjak ke tempat-tempat ramai.
Tujuan aksinya di tempat ramai bertujuan untuk menimbulkan korban jiwa.
Di Indonesia, aksi seperti ini terjadi pada Bom Bali I dan II, Bom JW Marriot, serta Bom Ritz Carlton.
Peneliti bidang politik dan keamanan negara menuturkan, setelah dari tempat keramaian yang menimbulkan banyak korban, aksi teror akan berpindah targetnya menuju simbol-simbol negara.
"Seperti yang kemarin, polisi dipandang mereka sebagai simbol negara," katanya.
Dari hasil analisanya, jika tidak ada pencegahan yang efektif, pelaku teror akan menjadikan pusat kegiatan kemiliteran sebagai target.