TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyatakan telah menerima surat permintaan penundaan memberikan keterangan dari mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam surat yang ditandatangani langsung oleh Politisi Partai Golkar itu, kata Arminsyah, dia meminta penudaan karena sedang bermasalah secara psikologis.
"Hanya mengatakan kondisi kesehatan psikologis sehingga minta waktu untuk dua minggu," kata Arminsyah di depan Gedung Bundar Kejaksaan, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (27/1/2016).
Melalui surat itu, kata Arminsyah, Novanto yang mengaku sedang bermasalah psikologisnya, meminta penundaan pemberian keterangan selama dua minggu.
Atas permintaan tersebut, Jampidsus berencana melakukan rapat dengan timnya. Hasil rapat tersebut yang menentukan permintaan Novanto dikabulkan atau tidak.
"Kami menunggu dua minggu atau cukup seminggu, nanti kami bahas," kata Arminsyah.
Sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto mengirimkan surat permintaan penundaan untuk memberikan keterangan di Kejaksaan Agung terkait penyelidikan skandal Papa minta saham, setelah tiga kali permintaan memberikan keterangan.
Pada permintaan keterangan pertama dan kedua, beberapa waktu lalu, Novanto menolak hadir. Namun, Korps Adhyaksa tidak dapat melakukan pemanggilan paksa.
Pasalnya, kasus dugaan permufakatan jahat ini, masih dalam tahap penyelidikan, sehingga penolakan dari orang yang dimintai keterangan tidak memiliki konsekuensi hukum.
Kasus yang awam dikenal dengan Skandal Papa minta saham, bermula saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu mantan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut, terindikasi politisi Partai Golkar itu mencatut nama presiden guna meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT FI dan berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.