Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi dihadirkan menjadi saksi dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (3/2/2016).
Dalam persidangan, Erry ditanya soal pembicaraan islah tanggal 19 Mei 2015 di DPP Partai NasDem Gondangdia.
Penasihat hukum Gatot membacakan berita acara pemeriksaan pemeriksaan (BAP) Erry dihadapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Pak ketua (Surya Paloh) kalau Pak Gubernur (Gatot) memberikan 5 SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemprov Sumut) yang menjadi tupoksi saya, itukan masih wajar dari 50 SKPD yang ada," kata penasihat hukum Gatot Budi dalam persidangan.
"Lalu dijawab oleh Pak SP, jangankan lima. 10 pun wajar. dibagilah yang bagus. Bagaimana kalian mengaturnya termasuk tugas-tugas yang diberikan pada wagub. Saya tidak mau dengar lagi kalian ribut-ribut karena sumut itu daerah saya. Saya lahir disana kita bangunlah daerah itu,"
tambahnya.
Erry membenarkan pertanyaan tersebut.
Sementara itu, jaksa juga menanyakan soal menanyakan kepada Erry apakah dirinya mengenal anggota DPRD Pemprov Sumatera Utara bernama Evi Diana.
"Ya kenal," kata Erry.
"Apa itu istri anda?" Tanya jaksa.
"Ya," jawab Erry.
Sebelumnya diberitakan, Erry membenarkan bahwa istrinya yang merupakan anggota DPRD Sumut, Evi Diana, menerima suap terkait pengadaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2014 di Sumut.
Namun, ia mengaku sang istri telah mengembalikan uang tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Sudah mengembalikan, tapi saya tidak pada kapasitas menjawab pada angka," ujar Erry di Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10/2015) malam.
Erry mengatakan, sebagian anggota DPRD yang menerima uang suap terkait pembahasan APBD tersebut sudah mengembalikan uangnya.
Meski terus didesak, Erry enggan menyebut nominal uang yang dikembalikan Evi.
"Saya tidak tahu," kata dia.
Erry enggan berandai-andai jika istrinya bisa ditersangkakan karena sempat menerima suap tersebut.
Jika hal tersebut terjadi, ia mengaku akan kooperatif.
"Tidak ada masalah, semua kita serahkan kepada penyidik. Tapi kita jangan berandai-andai dan menduga-duga," kata Erry.
Mulanya, KPK melakukan penyelidikan dugaan korupsi dalam proses hak interpelasi di DPRD Sumut.
Setelah melakukan pemeriksaan saksi dari anggota DPRD aktif Sumut dan mantan anggota DPRD Sumut, terungkap bahwa dugaan korupsi tak hanya terjadi pada proses interpelasi.
KPK menemukan adanya dugaan korupsi dalam pengadaan APBD 2014 di Sumut.
Dalam penyelidikan ini, KPK juga meminta keterangan Gatot Pujo Nugroho, Gubernur nonaktif Sumut yang kini terjerat kasus suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan.
Diduga, Gatot menyuap anggota DPRD Sumut untuk membatalkan hak interpelasi terhadapnya. Adanya dugaan penyelidikan baru menguat setelah KPK menggeledah Kantor DPRD Sumut dan menyita dokumen hak interpelasi DPRD, salah satunya menyangkut kasus yang menjerat Gatot di KPK.
Selain dokumentasi interpelasi, KPK juga dikabarkan membawa data yang berisi presensi dan risalah persidangan yang dilaksanakan DPRD Sumut.
Hak Interpelasi tersebut diajukan menyangkut empat hal, yaitu pengelolaan keuangan daerah, penerbitan Peraturan Gubernur Sumut nomor 10 tahun 2015 tentang Penjabaran APBD 2015, kebijakan pembangunan Pemprov Sumut, dan etika Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho sebagai kepala daerah. Namun, DPRD Sumut batal menggunakan hak tersebut.
Keputusan atas hak interpelasi diputuskan melalui pemungutan suara di dalam rapat paripurna DPRD Sumut. Dari 88 anggota DPRD Sumut yang hadir, 52 orang menolak penggunaan hak tersebut, sisanya 35 orang menyatakan setuju dan satu orang abstain.