TRIBUNNEWS.COM - "Hari ini saya baca artikel itu, saya sampai keluar air mata, saya sedih sekali. Mimpi yang mereka pikirkan itu, is gone (hilang,-red)." Begitu pengakuan mantan Dirut PT Pelindo II, Richard Joost Lino, saat meninggalkan kantor Bareskrim di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/20/2016) petang, usai mengklarifikasi harta kekayaannya terkait kasus dugaan korupsi pengadaan 10 mobile crene PT Pelindo II Tahun 2012.
Lino mengaku sedih setelah membaca artikel di blog Kompasiana berjudul 'Saat Kriminalisasi Menghancurkan Mimpi-mimpi Kami' yang ditulis pegawai muda PT Pelindo II, Aldimas K Zaman selaku perwakilan Kaukus Karyawan Muda Pelindo II.
Mata Lino tampak berkaca-kaca saat menceritakan kesedihannya mengetahui 'curhatan' para pegawai muda PT Pelindo II itu. Pengacaranya, Frederich Yunadi, berupaya memegang dan sesekali mengelus bahu Lino saat ia terus mengungkapkan kesedihannya itu.
Artikel itu sendiri menceritakan adanya 170 pegawai muda PT Pelindo II lulusan Strata 1 yang disekolahkan program Strata 2 atau gelar master di sejumlah universitas luar negeri sepanjang 2008-2015.
Mereka disekolahkan dengan penjurusan sesuai kebutuhan dan sejumlah visi, di antaranya membangun pelabuhan Indonesia yang ideal dan futuristik hingga membangun maritim Indonesia, termasuk program Tol Laut.
Namun, begitu mereka kembali ke Indonesia dan mulai merealisasikan visi serta mimpi-mimpinya itu, justru penegak hukum 'merangsek' masuk dan mengungkap adanya beberapa dugaan korupsi di perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan, RJ Lino selaku Dirut PT Pelindo II ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Quay Container Crane (QCC) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belum lagi, proses politik di DPR RI dengan adanya Panitia Khusus (Pansus) tentang dugaan pelanggaran PT Pelindo II.
Penggeledahan yang dilakukan tim Bareskrim Polri untuk penyidikan kasus mobile crane pada Agustus 2015 lalu menjadi awal 'kehancuran' PT Pelindo II. Kejadian itu seperti sambaran petir di siang bolong bagi sebagian besar pegawai PT Pelindo II.
Lino mengatakan, dirinya secara pribadi siap menghadapi proses hukum di Bareskrim Polri, KPK dan proses politik di DPR. Bahkan, ia mengaku sudah siap jika suatu hari ditahan oleh pihak KPK atau pun Bareskrim Polri.
Namun, ia meminta upaya ketiga pihak tersebut maupun pihak lain adalah tidak dalam rangka merusak organisasi dan visi anak muda PT Pelindo II untuk membangun Indonesia.
"Saya selama 6,5 tahun di pelindo, saya kirim 170 anak muda ambil master ke luar negeri, 70 setingkat manager jadi hampir 250 orang yang kita dikirim ke luar negeri. Jadi, mereka pergi dengan mimpi-mimpi bikin maritim satu indonesia," kata Lino.
"Tapi, hari ini, saya baca artikel tadi sampai saya keluar air mata. Saya sedih sekali. Mimpi yang mereka pikir itu is gone," sambungnya.
Lino mengaku merasa sedih sekaligus berhutang kepada pegawai PT Pelindo II yang sekola S2 ke luar negeri. Sebab, dirinya lah orang yang mengajak mereka bergabung ke PT Pelindo saat masih menempuh pendidikan S1 di sejumlah kampus ternama di Indonesia.
"Waktu itu saya yang datang ke univesitas-universitas, ajak ayo masuk ke Pelindo II, itu karena saat itu tidak ada yang mau masuk," kisahnya.
"Waktu 2009, nggak ada orang yang tahu PT Pelindo II. Nggak ada anak muda ITB yang mau masuk ke PT Plindo II. Tapi, saya ke sana dan kampanye, ayo gabung, nanti kalian sekolah ke luar negeri bangun Indonesia. Tapi, hari ini saya sedih baca artikel itu, so sad," sambungnya.
Lino meminta semua pihak, mulai pemerintahan Jokowi-JK dan DPR RI, untuk menolong PT Pelindo II. Ia berharap tidak ada lagi pihak yang merusak dan mengobok-obok perusahaan negara yang dinilai berpotensi besar membangun bangsa Indonesia itu.
"Saya hanya mau bilang, tolong bantu mereka. Kalau toh saya sampai one day (suatu saat) dipenjara karena keputusan saya begitu, saya akan berjalan dengan muka tegak karena saya bangga banyak bisa membantu, di Sumatera dan Kalimantan, dimana ongkos turun begitu banyak,'
"Saya kalau dihukum negeri ini karena masalah ini, saya terima dengan muka tegak," sambungnya.