TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD Gerakan Wanita Nusantara (Granita) Yogyakarta, Arsyita Rokhma mengatakan, kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam perilaku sama jahatnya seperti halnya pengguna narkoba, yakni menyandu (adiktif) dan menularkan.
Arsyita menyebut mereka yang termasuk dalam kelompok ini mencoba menularkan sifat adiktif kepada pihak yang normal.
Penularan sifat, kata dia, lewat cara mengampanyekan LGBT sebagai gaya hidup, kelompok ini kemudian mempengaruhi dan menularkan kebiasaan penyimpangan seksual kepada kelompok lain yang normal.
Arsyita Rokhma, yang juga Trainer dan Hypnotherapist ini menjelaskan, kelompok lain yang paling mudah dipengaruhi adalah anak-anak muda yang sedang akil balik atau yang secara emosional labil.
Mereka yang kehilangan figur ayah, juga merupakan kelompok yang paling mudah dipengaruhi.
Arsyita Rokhma menegaskan, sifat menular dan adiktif dari penyimpangan ini jelas terlihat. Ketika seseorang yang normal sudah terpengaruh oleh gaya hidup LGBT maka dibutuhkan upaya yang ekstra untuk dapat mengembalikan kepada psikis normal yang seharusnya ada.
“Saya lebih cenderung membandingkan dan menyamakan LGBT sama dengan kecanduan narkoba. Cara mempengaruhi kelompok LGBT kepada mereka yang normal sama dengan cara mereka yang kecanduan narkoba dalam mempengaruhi rekan-rekannya yang tidak kecanduan,” ujar Arsyita Rokhma yang seriang dipanggil Sita Arsyita dalam keterangan yang diterima, Senin (15/2/2016).
Ia menguraikan pada awalnya mereka yang normal menolak untuk didekati oleh LGBT. Namun karena si LGBT ini sangat gencar dalam pendekatannya, akhirnya si normal menjadi tertular.
Hal yang ditularkan, menurut dia, adalah kenikmatan dan kepuasan. Efek dari hadirnya kenikmatan dan kepuasan adalah kecanduan.
Sita menyebut, bisa dipastikan ketika sudah kecanduan seksual yang menyimpang mereka akan susah keluar dari lingkaran LGBT.
Mereka yang kecanduan seksual menyimpang ala LGBT itu, urai Sita Arsyita lebih dalam, akan menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan orang yang menghalangi.
“Keprihatinan yang muncul ketika saya mengadakan penelitian adalah, yang menjadi target objek adalah kelompok anak-anak yang sedang akil balik atau usia yang mudah dipengaruhi secara emosional dan psikis. Sisi eksplorasi seskualitas yang sedang hot-hotnya atau istilah anak-anak muda nge-hitz merupakan faktor penentu tingkat kecanduan,” ujar Sita yang juga seorang Family Life Coach.
Menurutnya, kelompok LGBT ini sudah tidak mengenal tempat ataupun situasi dalam melakukan kisah asmara mereka. Mall, merupakan tempat yang paling mudah bagi orang tua, jika ingin melihat bagaimana komunitas tersebut melakukan aksinya.
Pada awalnya, pendatang baru yang normal merasa risih dengan kondisi itu, tetapi ketika sudah kecanduan dan senantiasa berada di kelompok ini, akhirnya rasa risih, tidak etis, tidak bermoral dan lain-lain tersingkir pula seiring dengan tingkat kecanduan yang mereka dapatkan.
“Seperti halnya narkoba, semua berawal dari coba-coba. Ketika mereka merasa diterima dalam komunitas LGBT, akhirnya mereka menemukan dunianya sendiri. Efek lain dari kecanduan penyimpangan seksual ini adalah, mati rasa dan beranggapan mereka normal. Sehingga yang terjadi bukanlah soal memiliki anak, tetapi soal kepuasan dan kecanduan. Jika pecandu narkoba memiliki tempat rehabilitas karena dianggap sebagai penyakit, lalu mengapa LGBT harus dilegalkan ?” tanyanya.
Sita juga memberi saran kepada para orang tua dalam situasi dan kondisi seperti ini, orangtua harus lebih waspada dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang pendidikan seksual kepada anak-anaknya.
Pendidikan seksual dalam keluarga dapat diawali, misalnya, dengan menanamkan sejak dini karakter dan perbedaan tanggung jawab antara anak perempuan dan laki-laki.