Di sisi lain, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka lah sebagai korban atas kejahatan Novel Baswedan.
"Contohnya, mereka bilang yang menembak adalah Novel dengan pistol warna putih karena mengaku sempat menengok ke belakang sebelum ditembak. Hal itu sudah sempat dikonfirmasikan ke Novel saat sebelum pelimpahan di Bengkulu. Penyidiknya menunjukkan barang bukti pistol warna putih. Tapi, Novel sudah cerita bahwa saat kejadian 2004 itu dia nggak pegang pistol putih. Pistolnya bukan yang itu, identitas pistolnya berbeda.
"Jadi, para saksi ini menggunakan pendekatan victim yang di-victim-kan," sambungnya.
Saat ini, para saksi tersebut kembali 'dimunculkan' karena tahu adanya wacana untuk menghentikan kasus pidana Novel Baswedan. "Kami juga tahu mereka kasih surat ke pimpinan KPK dan suratnya itu di-upload Humasa Polri," ujarnya.
Kejanggalan lainnya, yakni ketidakkonsistenan pengakuan saat penelusuran yang dilakukan oleh Ombudsman untuk dugaan pelanggaran administrasi penanganan perkara Novel pada 2015.
Saat itu, para saksi tersebut telah mengaku mendapat pengobatan di Mapolda Bengkulu pada 2012 atas penganiayaan yang didapat oleh Novel. Namun, pada 2015 lalu mereka kembali mendatangi Lembaga Perlindundangan Saksi dan Korban (LPSK) untuk meminta hak pengobatan yang sama.
"Secara normatif, mereka sebagai saksi berhal mendapat pengobatan dari LPSK. Tapi, saat saya tahu itu, saya hanya memberikan laporan dan rekomendasi Ombudsman bahwa mereka sudah pernah mendapatkan pengobatan pada 2012. Kalau 2015 mereka minta pengobatan lagi ke LPSK, berarti ada yang tidak beres dan pengobatan tidak boleh double budget," tuturnya.
"Ini menunjukkan kalau mereka tidak punya itikad baik. Kenapa minta pengobatan lagi? Motifnya apa? Saya duga mereka lupa, dikira pengakuan mereka ke Ombudsman tidak tercatat," sambungnya.
Muji menegasakan, pihaknya berpegangan pada hasil penelusuran Ombudsman terkait pengakuan-pengakuan saksi yang mengaku korban penganiayaan Novel tersebut.
"Di laporan Ombudsman itu, itu tidak ada yang menyebut Novel. Soal disetrum, dilindas motor, ditembak, mereka saat itu bilang tidak tahu siapa yang melakukannya. Lalu, kalau keterangannya yang dipakai sekarang ini berbeda, bagaimana mungkin mereka menyebut diri sebagai korban dari Novel," tandasnya.
"Kami tetap pada pegangan hasil laporan Ombudsman. Silakan temui Ombudsman untuk diklarifikasi. Kan keterangnnya ada yang ditembak, disetrum, dilindas motor. Siapa yang melakukan, jawabnya saat itu macam-macam. Katanya Novel, tahunya karena begini dan begitu," ujarnya.
Menurutnya, Novel sendiri merasa tidak pernah melakukan penganiayaan terhadap saksi-saksi tersebut saat menjadi Kasat Reskrim Polres Bengkulu pada 2004 silam.
"Saat jam dibilang sebagai waktu kejadian itu, Novel berada di ruangan gedung depan Mapolres Bengkulu. Lokasi kejadian di lantai atas gedung belakang. Lalu, bagaimana mungkin Novel bisa berada di dua lokasi saat waktu yang sama," ujarnya.
Menurut Muji, dirinya selaku pengacara dan Novel sendiri tidak akan melakukan 'perlawanan' atas 'roadshow' yang dilakukan saksi-saksi tersebut. "Dibiarkan saja. Memang mau diapain. Biarkan saja yang penerima-penerima mereka itu menilai sendiri, pengakuannya janggal tidak," tuturnya.