TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mereka yang ingin maju mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) harus berhati-hati. Sebab saat ini pemerintah tengah menyusun revisi Undang-undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Imbauan itu dikemukakan, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Sonny Soemarsono, pihaknya tetap mencantumkan pasal yang memuat sanksi bagi pelaku politik uang.
Ada denda minimal Rp 500 juta dan maksimal Rp 1 miliar untuk calon kepala daerah yang melakukan money politic.
Tak hanya itu, partai politik yang terbukti menerima mahar dari calon juga dikenai sanksi sebesar Rp 25 miliar dan maksimal Rp 50 miliar. Semuanya terangkum dalam draf UU Pilkada Pasal 187A dan Pasal 187B.
"Sanksi pidana dipertegas soal money politik," kata Sonny saat berdikusi dengan wartawan di Kemendagri, Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Selain diwajibkan membayar sejumlah uang, calon yang terbukti melakukan kecurangan juga menerima ganjaran penjara.
Rinciannya yakni hukuman penjara paling ringan selama dua tahun, atau paling lama enam tahun. Seperti diketahui, banyak sekali laporan aduan di MK terkait politik uang.
Namun demikian, pembuktian terkait bentuk pelanggaran ini sulit dilakukan.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraeni mengatakan perlu sinergi antara sanksi-sanksi itu. Artinya, hukuman yang dilakukan pemerintah dan elemen negara lainnya harus bergandengan tangan.
"Berjalan beriringan, sanksi administratif dengan sanksi pidana," kata Titi.