TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah penolakan disertai opini bermunculan setelah Kejaksaan Agung mengeluarkan surat keputusan deponering (kasus dihentikan) untuk kasus yang menjerat dua mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Di antaranya keduanya dinilai kebal hukum hingga punya beban moral pembuktian kasusnya.
Samad menganggap wajar adanya penilaian-penilaian sebagian orang seperti itu.
"Apapun pandangan sebagian orang, itu sah-sah saja," kata Samad usai menerima SK Deponering dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum), Noor Rochmad di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (4/3/2016).
"Jadi, yang saya bisa sampaikan, bahwa deponering juga adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh hukum, dan itu bukan pelanggaran hukum, itu mekanisme yang diatur di dalam hukum. Oleh karena itu, ini menjadi sesuatu yang sangat legal," sambungnya.
Samad setuju pembuktian seseorang bersalah atau tidak maupun ada tidaknya kriminalisasi atas sangkaan yang dituduhkan dibuktikan lewat proses di pengadilan.
Namun, keputusan deponering merupakan hak prerogatif Jaksa Agung yang harus dihormati oleh semua pihak.
"Jadi begini, kita tidak bisa berandai-andai, mengatur-atur aparat penegak hukum, bahwa kasus ini harus dibawa atau tidak ke pengadilan. Karena kewenangan deponering adalah kewenangan prerogatif Jaksa Agung. Oleh karena itu, kita harus bisa menerimanya," ujarnya.
Diberitakan, Jaksa Agung HM Prasetyo akhirnya memutuskan menerbitkan deponering atau pengesampingan perkara demi kepentingan umum untuk kasus yang menjerat mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Menanggapi keputusan Jaksa Agung itu, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti selaku pucuk pimpinan lembaga yang memproses dan menyidik kasus Samad dan Bambang menilai, seharusnya kedua kasus ini diakhiri di pengadilan untuk membuktikan siapa yang bersalah dan sebaliknya.
Sebab, setiap warga negara adalah sama kedudukannya di depan hukum dan tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum. Dan sesuatu dikatakan adil jika prosesnya melalui ketentuan hukum yang berlaku dan diputus di pengadilan.
Kapolri menegaskan, proses di pengadilan tersebut juga menjadi pembuktian ada atau tidaknya kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak Polri terhadap kasus kedua mantan pimpinan KPK tersebut.
Sebelum dikeluarkannya deponering, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto berstatus sebagai tersangka kasus pidana umum di kepolisian, di mana berkas perkaranya sudah sampai ke kejaksaan dan segera dibawa ke pengadilan.
Kedua mantan pimpinan KPK itu menjadi tersangka di pihak kepolisian setelah pihak KPK lebih dulu menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi pada awal 2015 atau saat jenderal bintang tiga itu dicalonkan menjadi Kapolri.
Kasus yang disangkakan kepada kedua pimpinan KPK saat itu terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Samad disangkakan melakukan pemalsuan data untuk pembuatan paspor Feriyani Lim pada 2007. Sementara, Bambang Widjojanto menjadi tersangka karena diduga saat menjadi pengacara telah mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu atau bohong dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.
Penyidikan kasus kedua mantan pimpinan KPK itu terus berlanjut di kepolisian hingga berlanjut ke kejaksaan, setelah Komjen Budi Gunawan lepas dari status tersangka pihak KPK pasca-memenangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarata Selatan.
Baik Abraham Samad maupun Bambang Widjojanto merasa tidak melakukan perbuatan pidana seperti disangkakan oleh pihak kepolisian. Keduanya menilai kasus yang ditimpakan ini adalah bagian rekayasa dan kriminalisasi terhadap mereka selaku pihak yang tengah melakukan pemberantasan korupsi.