TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung memeriksa Staf Ahli Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan, Wijajanto Samirin, terkait dugaan korupsi dalam pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinsky pada 2004 silam.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Amir Yanto, menyebutkan Wijajanto yang memenuhi panggilan Kejaksaan diperiksa sebagai saksi.
Selama pemeriksaan, sebut Amir, tim penyidik menanyakan Wijajanto terkait alur pengajuan proposal pembangunan oleh PT. Cipta Karya Bumi Indah ke PT. Hotel Indonesia Natour.
"Mengingat, kedudukan saksi (Wijajanto Samirin) saat itu selaku Penyusun Proposal Penawaran Pengembangan Hotel Indonesia untuk PT. Cipta Karya Bumi Indah," kata Amir di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Sebagai informasi, Kejagung telah meningkatkan status kasus dugaan korupsi pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA pada 2004, ke tahap penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) nomor Prin-10/F.2/Fd.1/02/2016.
Dalam upaya menguak kasus ini, Kejaksaan telah memanggil Direktur Utama PT HIN Iswandi Said untuk dimintai keterangan.
Tim penyidik juga telah menggeledah Menara BCA dan Apartemen Kempinski, Thamrin, Jakarta Pusat.
Dalam penggeledahan tersebut, tim Kejagung membawa sejumlah dokumen yaitu risalah rapat terkait kerjasama BOT (built, operation, transfer), dokumen pengembangan, proposal PT CKBI, dan rekap penerimaan kompensasi BOT.
Jampidsus Arminsyah menjelaskan awal mula perkara ini adalah adanya pembangunan dua tower yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski diluar perjanjian.
Dalam kontrak BOT yang ditandatangi 13 Mei 2004 lalu, hanya ada empat bangunan yang dibangun diatas tanah negara yang diterbitkan atas nama PT Grand Indonesia yaitu Hotel bintang lima, dua pusat perbelanjaan, dan fasilitas parkir.
Selain itu, ada permasalahan perpanjangan kontrak kerjasama.
Awalnya, kontrak kerjasama hanya berlangsung selama 30 tahun dimulai dari 2004.
Tapi pada 2010, kontrak kembali diperpanjang 20 tahun sehingga total kerjasamanya 50 tahun.
Serta permasalahan pengalihan kontrak dari PT Citra Karya Bumi indah kepada PT Grand Indonesia.
Masalahnya, sertifikat HGB diagunkan oleh PT Grand Indonesia kepada bank untuk memperoleh kredit.
Dengan adanya permasalahan tersebut diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,2 trilun.