TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah meminta keterangan dari Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Setya Novanto, Kamis (11/2/2016) lalu, hingga saat ini belum ada kelanjutan berarti kasus dugaan permufakatan jahat yang kerap disebut skandal "Papa Minta Saham".
Hingga kini Kejaksaan Agung yang menangani kasus tersebut masih sebatas mengkaji hasil pengumpulan keterangan dan pendapat ahli.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyatakan pihaknya telah mendiskusikan hasil permintaan keterangan Novanto bersama enam orang ahli.
Namun, Arminsyah menolak membeberkan hasil kajian bersama enam ahli tersebut.
"Itu masih intern kami," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (15/3/2016).
Arminsyah juga tidak menampik adanya kendala yang pihaknya alami selama mencoba menguak tindak pidana dalam kasus ini.
"Banyak (kendala). Ya tidak usah (dirinci)," katanya.
Terkait orang terakhir yang terlibat pembicaraan, pengusaha Riza Chalid, Jampidsus mengaku masih mengupayakan kesaksiannya.
Skandal papa minta saham bermula ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut mantan Ketua DPR meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT FI dan berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
Selama proses penyelidikan berlangsung, Novanto telah memberikan keterangan kepada Kejaksaan Agung sebanyak tiga kali.