TRIBUNNEWSCOM. SURABAYA-Ali Fauzi, mantan Kombatan di Filipina Selatan, memiliki analisis tersendiri soal penyanderaan 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf. Hal ini ia sampaikan kepada Harian Surya, (Tribunnews.com Network) seraya memastikan, rekam jejak kelompok Abu Sayyaf yang ia ketahui, hanya butuh uang.
Menurutnya, cara negosiasi apapun tanpa uang, bakal percuma. Mereka tidak mau mengambil risiko jika kemauannya (tebusan) tidak diwujudkan.
Ali Fauzi adalah mantan kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah. Ia pernah memiliki hubungan dengan beberapa grup Abu Sayyaf di Mindanao, Filipina.
"Namun sebelum para sandera itu dieksekusi kebiasaannya masih diberi kesempatan atau jeda waktu lagi paling lama seminggu. Istilah mereka, ekstra time. Setelah seminggu tebusan tidak diberikan, para sandera ini baru dieksekusi," ujarnya.
"Sandera sesama agama (Islam) saja dieksekusi, apalagi yang beda agama. Kelompok ini sudah sangat liar, tidak memandang sahabat antarnegara yang dipandang sebagai sahabat secara teritorial," Ali Fauzi memastikan.
Dijelaskan, perspektif ideologi mereka tidak bisa dibatasi dengan pandangan soal sahabat atau negara bertetangga secara terotorial. Malaysia itu kan negara tetangga, tetap sanderanya dibunuh juga," cerita Ali.
Dilihat dari rekam jejaknya, lanjut Ali, kelompok pimpinan Rodulan Sahirun alias Komandan Putul ini, sejak kecil keluarga mereka banyak yang tumbuh dan hidup di medan konflik serta kekerasan.
Sampai- sampai sang pimpinan, Rodulan Sahirun, harus kehilangan tangan kanannya. Itulah sebabnya, Rodulan Sahirun ini dikenal dan dijuluki komandan putul (putus).
"Menurut saya, pemerintah harus serius dan menyediakan dana, seperti mereka minta. Sebab melakukan lobi tanpa uang, percuma saja. Mengapa mereka benar-benar butuh uang? Uang itu akan dipakai untuk menghidupi orang-orang di pedesaan Filipina atau masyarakat kelas bawah alias orang miskin, selain untuk biaya perjuangan mereka," papar Ali.
Dijelaskan pula, kelompok Abu Sayyaf pimpinan Rodulan Sahirun atau Komandan Putul ini bagi warga miskin di wilayah pedesaan, termasuk di Tawi Tawi dan wilayah sekitarnya dianggap sebagai Robin Hood.
Karena uang yang didapat Abu Sayyaf selalu dibagi-bagikan kepeda warga miskin di pedesaan itu. Bantuan uang dari kelompok ini selalu diharapkan masyarakat miskin. Hubungan masyarakat miskin dengan kelompok Abu Sayyaf ini diistilahkan sebagai sebuah simbiosis mutualisme, saling membutuhkan," ceritanya.
Dalam kenyataan, ketika kelompok ini dikejar-kejar aparat Filipina, larinya ke desa-desa miskin. Mereka 'bersenyawa' alias menyatu dan menyaru sebagai masyarakat desa.
Uang yang diterima masyarakat miskin dipakai menyambung hidup. Makanya, masyarakat di wilayah desa miskin sangat melindungi kelompok pejuang Abu Sayyaf.
"Saya memang pernah berada di wilayah Filipina Selatan dan mengenal mereka namun tidak pernah bergabung dengan kelompok ini. Waktu saya di Filipina, saya mengurusi kelompok saya sendiri," Ali memastikan.
"Apalagi sekarang sudah beda pandang sehingga mereka memandang saya sebagai musuh.
Umar Patek yang sekarang menghuni Lapas Porong, Sidoarjo, memang pernah jadi Dewan Syuronya kelompok ini. Kalaupun Umar Patek jadi negosiator, tetap harus menyediakan dana, meski jumlahnya barangkali bisa berubah," tambahnya.(harian Surya)