TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Modern, Samadikun Hartono, langsung dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba, Jakarta.
"Langsung kami eksekusi malam ini ke Lapas Salemba," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah di depan Gedung Bundar Kejaksaan, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Samadikun dibawa ke Lapas Salemba pada sekitar 00.05 WIB menggunakan mobil tahanan Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus PPTPK).
Saat keluar bekas buron yang sempat melarikan diri selama 13 tahun di Tiongkok, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Selama berada di dalam Gedung Bundar Kejaksaan sejak 22.20 WIB, Arminsyah menyebutkan pihaknya membacakan ulang putusan Mahkamah Agung atas Samadikun.
Kejaksaan juga menanyakan kesanggupan Samadikun untuk membayar jumlah kerugian negara karena perbuatannya.
"Dia berniat bayar (kerugian negara). Tapi akan dia konsultasikan dengan keluarganya," katanya.
Menurut Arminsyah, Samadikun mengakui kepemilikan atas sebuah rumah di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta dan sepetak tanah di kawasan Puncak Bogor.
"Kalau dia tidak mau bayar akan kami sita," kata Jampidsus.
Sebelumnya diberitakan, Tim Pemburu Koruptor yang dibentuk Pemerintah berhasil menangkap Samadikun Hartono di Tiongkok pada Jumat (15/4/2016).
Samadikun telah divonis bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI senilai sekira Rp2,5 triliun yang digelontorkan ke Bank Modern menyusul krisis finansial 1998.
Kerugian negara yang terjadi dalam kasus ini sebesar Rp169 miliar. Berdasarkan putusan Mahamah Agung (MA) tertanggal 28 Mei 2003, mantan Presiden Komisaris Bank PT Bank Modern Tbk itu dihukum empat tahun penjara.
Namun, jelang eksekusi Samadikun melarikan diri ke luar negeri dengan dalih hendak berobat ke Jepang.
Pada 2006, barulah Kejaksaan Agung memasukkan namanya ke daftar pencarian orang.
Selain Samadikun, Kejaksaan Agung masih mengejar buronan lain, di antaranya, Lesmana Basuki, Eko Edi Putranto, Hary Matalata, Hendro Bambang Sumantri, Hesham al Warraq, dan Rafat Ali Rizvi.