TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menempatkan personilnya di Mahkamah Agung guna mengawasi seluruh langkah lembaga peradilan tertinggi di Indonesia tersebut.
Menyusul, adanya operasi tangkap tangan Kepala Panitera PN Jakarta Pusat Edi Nasution SH.MH dan penggeledahan ruang kerja Sekjen MA Nurhadi beberapa waktu lalu.
“Penempatan personil KPK di kantor MA sangat diperlukan untuk mengusut tuntas kasus dugaan korupsi yang terjadi di lembaga tersebut. Disamping itu, penempatakn personil KPK juga bisa untuk mengantisipasi kejadian serupa,” tegas Ketua Umum DPP Ikadin Sutrisno di Jakarta, Senin (25/4/2016).
Sutrisno berharap KPK melakukan penyidikan terhadap pihak terkait di badan peradilan pada semua tingkatan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung.
Pasalnya, praktik mafia peradilan tidak akan selesai jika tidak dilakukan penyelidikan secara menyeluruh.
“Sebenarnya praktek mafia peradilan di Mahkamah Agung sudah berjalan lama tapi baru dalam beberapa bulan terakhir ini bisa terungkap dengan ditangkapnya Andri Tristianto Sutrisna dan Edi Nasution yg melibatkan pejabat di Mahkamah Agung RI,” tambahnya.
Berdasarkan data dari Advokat Ikadin di beberapa daerah menyebutkan adanya praktek mafia peradilan yang semakin marak dan membabi buta. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kinerja Ketua MA dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pengadilan di Indonesia.
“Mahkamah Agung RI saat ini sudah tidak bisa lagi membendung praktek mafia peradilan, sehingga sudah seharusnya Hatta Ali Ketua Mahkamah Agung RI untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Agung RI. Apabila pimpinan Mahkamah Agung RI tidak mundur maka citra Mahkamah Agung RI semakin terpuruk, banyak masyarakat pencari keadilan yang tidak percaya lagi kepada proses peradilan di tingkat kasasi,” tegas Sutrisno.
Sutrisno menjelaskan semakin maraknya praktek mafia peradilan saat ini dipicu adanya Surat Ketua Mahkamah Agung RI No 73/KMA/HK.OL/IX/2015 tanggal 25 September 2015 yang memperbolehkan semua organisasi advokat selain Peradi untuk mengajukan pengambilan sumpah advokat kepada Ketua Pengadilan Tinggi.
“Ini bentuk pelanggaran Ketua Mahkamah Agung RI terhadap UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat karena dengan adanya surat tersebut secara tidak langsung telah menurunkan kualitas Advokat, sehingga kalau banyak Advokat yang tidak berkualitas maka akan semakin marak praktek mafia peradilan.,” jelasnya.