Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak diborgolnya tangan buron korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono, disebut Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, merupakan bagian dari strategi.
Dia menjelaskan, perlakuan terhadap Samadikun yang dituding beberapa pihak sebagai pengistimewaan terhadap koruptor, sebagai upaya mengajak buron lain kembali ke tanah air.
"Strategi kami agar koruptor di luar sana (berpikir), 'wah saya dilakukan dengan tidak berlebihan,' sehingga akan tergerak untuk menyerahkan diri," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (25/4/2016).
Selain itu, dia mengakui ada kesepakatan antara Tim Pemburu Koruptor dengan Samadikun saat ditangkap.
"Itu (tidak diborgol) salah satu bagian dari deal-deal itu. bagaimana dia minta kalaupun diserahkan nanti diperlakukan dengan wajar," kata Jaksa Agung.
Terkait tindakannya yang menjemput langsung Samadikun di Bandara Halim Perdanakusuma, disebut Jaksa Agung semata untuk mengapresiasi Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso.
"Ini bentuk kerja sama antar lembaga. Saya tidak ada urusan dengan SH (Samadikun Hartono). Faktanya malam itu juga dijebloskan ke penjara," kata Prasetyo.
Sebelumnya diberitakan, Tim Pemburu Koruptor yang dibentuk Pemerintah berhasil menangkap Samadikun Hartono di Tiongkok pada Jumat (15/4/2016).
Samadikun telah divonis bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI senilai sekira Rp 2,5 triliun yang digelontorkan ke Bank Modern menyusul krisis finansial 1998.
Kerugian negara yang terjadi dalam kasus ini sebesar Rp 169 miliar.
Berdasarkan putusan Mahamah Agung (MA) tertanggal 28 Mei 2003, mantan Presiden Komisaris Bank PT Bank Modern Tbk itu dihukum empat tahun penjara.
Namun, jelang eksekusi Samadikun melarikan diri ke luar negeri dengan dalih hendak berobat ke Jepang.
Pada 2006, barulah Kejaksaan Agung memasukkan namanya ke daftar pencarian orang.
Selain Samadikun, Kejaksaan Agung masih mengejar buronan lain, di antaranya, Lesmana Basuki, Eko Edi Putranto, Hary Matalata, Hendro Bambang Sumantri, Hesham al Warraq, dan Rafat Ali Rizvi.