Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR harus segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sebagai payung hukum pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual.
Ketua Umum Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama, Anggia Ermarini, mengatakan pengesahan RUU PKS sebagai undang-undang dapat menjadik payung hukum dalam pencegahan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
Apa yang dialami Yuyun, remaja 14 tahun asal Rejang Lebong, Bengkulu, korban perkosaan disertai pembunuhan menjadi tamparan keras bangsa ini karena belum mampu mencegah dan melindungi korban.
"Melihat kejadian yang terjadi di republik ini, sudah semestinya RUU PKS segera disahkan. Tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda pembahasan dan pengesahan RUU PKS," ungkap Anggia di Jakarta, Jumat (6/5/2016).
Disahkannya RUU PKS menjadi undang-undang menandakan keseriusan pemerintah dan DPR memberikan perlindungan terhadap korban. Adanya kasus Yuyun membuktikan selama ini negara gagal melindungi warganya.
Catatan Komnas Perempuan pada 2015, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak berada dalam kondisi memprihatinkan, bahkan setiap tahunnya terus meningkat.
Kasus kekerasan seksual menempati urutan paling tinggi, yakni 72 persen atau 2.399 kasus, disusul pencabulan sebanyak 18 persen atau 601 kasus, dan pelecehan seksual sebanyak 5 persen atau 166 kasus.
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia mencatat, selama 2010 sampai 2014, terdapat 21 juta kasus pelanggaran hak anak di seluruh penjuru Indonesia. Dari jumlah tersebut, kasus kejahatan seksual selalu menempati urutan paling tinggi.
Sayang sekali, menurut Anggia, upaya eksekutif dan legislatif menurunkan dan menyelesaikan kasus ini cenderung berjalan di tempat.
"Kami juga mendorong Polri berkoordinasi dengan seluruh jajarannya tentang sanksi hukum yang diberikan terhadap pelaku kejahatan," tegas Anggia.