Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung terkesan tidak bisa berbuat banyak untuk menghadirkan seorang pegawainya guna memenuhi pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pegawai yang bernama Royani tersebut sudah dua kali mangkir dari panggilan KPK.
Royani diketahui sudah tidak berkantor di MA sejak kasus suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution merembet ke Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Dalam pertemuan antara Ketua MA Hatta Ali dan Wakil Ketua KPK La Ode Muhamad Syarif di Kedutaan Besar Belanda, belum lama ini, Hatta mengaku sudah mengecek keberadaan Royani di kediamannya.
"Beliau mengatakan bahwa Mahkamah juga sudah memeriksa tempat tinggal Pak Royani. Ada dua tetapi tidak ada di tempat. Itu menurut Pak Ketua MA," kata Syarif di kantornya, Jakarta, Rabu (25/5/2016).
Terkait ketidakhadiran tersebut, Hatta mengatakan sanksinya adalah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
Pegawai negeri akan dipecat jika tidak hadir secara berturut-turut sebagaimana yang disyaratkan.
"Maka akan diberi peringatan dan setelah itu akan dipecat kalau tidak hadir. Itu yang diberikan komitmen ketua Mahkamah Agung kepada KPK," kata Syarif.
Syarif mengakui kehadiran Royani sangat penting untuk mengungkap kasus tersebut.
Apalagi, Nurhadi disebut-sebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Royani.
"Itu salah satu yang ingin ditanyakan karena dia sebagai saksi ingin ditanyakan penyidik KPK," kata Syarif.
Nurhadi telah diperiksa KPK kemarin.
Usai diperiksa, Nurhadi enggan menjawab pertanyaan wartawan secara rinci.
Dia juga mengaku belum dikonfirmasi penyidik mengenai uang Rp 1,7 miliar yang disita KPK dari rumahnya.
Nurhadi telah dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan.
KPK sebelumnya menangkap Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution saat menerima Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno di Hotel Accacia, Jakarta Pusat, 20 April 2016.
Doddy adalah perantara suap dari PT Paramount Enterprise Internasional.