TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Ponorogo, Rita Krisdiani, yang divonis mati di Malaysia adalah korban maka jangan sampai dihukum mati.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mendesak pemerintah serius mempersiapkan langkah-langkah membebaskan Rita.
"Memang aturan yang ada di Malaysia, kita pahami. Namun yang harus kita pastikan adalah perlindungannya untuk pendampingan hukum. Karena Rita ini disinyalir korban," tegas Politisi Golkar ini kepada Tribun, Kamis (2/6/2016).
Adalah tugas negara memastikan Rita dapat perlindungan hukum yang baik. Jangan sampai kalah di pengadilan saat banding nantinya.
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan upaya dialog dengan pemerintah Malaysia untuk sama-sama membongkar sindikat narkoba yang diduga menjebak Rita.
"Ini kan juga baik untuk pemerintah Malaysia, agar mereka dapat menangkap dalang utama dari sindikat narkoba tersebut. Saya rasa bagus, BNN perlu merespon," cetusnya.
Rita Krisdianti (26) divonis hukuman gantung oleh Mahkamah Tingkat Tinggi George Town, Penang, Malaysia, Senin (30/5/2016).
Rita dinyatakan terbukti menyelundupkan narkotika jenis sabu seberat 4 kilogram.
Sebelumnya, Koordinator Crisis Center Migrant Institute Nursalim meminta Pemerintah Indonesia merespons vonis tersebut karena Rita diyakini merupakan korban dari tindak pidana tersebut.
"Kami meminta Presiden Jokowi atau Kementerian Luar Negeri merespons cepat, baik dengan bantuan hukum atau diplomasi tingkat tinggi dalam mengupayakan pembebasan Rita dari vonis mati," ujar Nursalim kepada Kompas.com, Senin.
Ia juga mendesak Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri untuk membongkar atau setidaknya memberikan informasi soal jaringan narkotika yang 'menjebak' Rita.
"Fakta menunjukkan bahwa Rita adalah innocent courrier. Melihat posisi dia yang rentan dan terjebak atas penipuan, tidaklah adil jika dia menerima hukuman mati," ujar Nursalim.
Awal keterlibatan Rita
Keterlibatan Rita dalam dunia narkotika terjadi di Hong Kong pada tahun 2012. Saat itu, ia frustasi karena tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Sejak 2010, Rita sudah diterbangkan bolak-balik ke China dan Hong Kong. Namun, ia tidak kunjung mendapat visa kerja dan pekerjaan.
Di tengah keterpurukan ini, ia mengenal seseorang berinisial ES. ES belakangan diketahui bagian dari jaringan narkotika internasional.
"Karena Rita tidak kunjung mendapat visa dan kerja, ia berencana kembali ke Indonesia. ES kemudian menawarkan pekerjaan kepada Rita, yaitu bisnis pakaian sutera," ujar Nursalim.
Rita menerima tawaran itu. Bagi dia, pekerjaan itu memudahkan dirinya untuk pulang ke kampung halaman. Sebab, ia hanya ditugaskan untuk pulang ke Indonesia melalui rute yang ditetapkan oleh ES.
Kronologi penyelundupan
Pada 9 Juli 2013, Rita bersama ES terbang dari Hong Kong ke New Delhi, India. Sesampainya di sana, keduanya menginap satu malam.
ES berpesan kepada Rita bahwa sebentar lagi ada orang yang mendatanginya dan menitipkan barang berupa koper. Koper itulah yang harus dibawa Rita ke Penang, Malaysia.
"Setelah itu, ES pergi. Sejak saat itu, Rita sudah tidak pernah bisa menemukan atau menghubungi ES lagi," ujar Nursalim.
Beberapa saat kemudian, Rita didatangi sepasang pria dan wanita. Sang wanita dikenalnya bernama Nita.
Sementara, sang pria tidak diketahui namanya.
Rita hanya mengetahui bahwa pria itu adalah kekasih Nita yang berkewarganegaraan Nigeria. Malam itu, Nita menginap bersama Rita. Sang pria berkulit hitam pergi.
Pada 10 Juli 2013, pria itu datang kembali sambil menyerahkan dua buah koper untuk dibawa kedua perenpuan itu sesuai rute yang ditetapkan.
"Si Nita berpesan kepada Rita, nanti ada yang mengambil koper itu di Penang," ujar Nursalim.
Nita terbang ke Malaysia terlebih dahulu disusul Rita. Begitu sampai di Penang, petugas kepolisian Diraja Malaysia menangkap Nita dan Rita lantaran di dalam kopernya ada berkilo-kilogram sabu.
Di koper Rita sendiri, ada 4 kilogram sabu. Rita dan Nita kemudian dijebloskan ke penjara setempat.