TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Didampingi seorang putrinya di ruang tunggu, Damayanti hadir sekitar pukul 10.00 WIB.
Mantan anggota Komisi V DPR RI bernama lengkap Damayanti Wisnu Putranti ini kemudian menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (8/6/2016) kemarin.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, Damayanti tampil cantik mengenakan blazer batik berwarna ungu, dengan tas jinjing warna yang sama dan celana panjang hitam.
Dalam kasus ini, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir diduga memberi uang kepada Damayanti, dan dua orang stafnya, Julia dan Dessy, masing-masing 33.000 dolar Singapura.
Saat sidang dimulai, Damayanti meminta kepada majelis hakim yang dipimpin oleh Sumpeno, agar dirinya bisa dipindahkan dari rumah tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia mengaku menderita asma dan tak bisa jika selalu menghirup sirkulasi udara yang tidak baik. Akibatnya, penyakit sesak nafasnya pun sering kambuh selama di rutan.
"Sakit asma, sejak masih gadis. Sudah dirawat dokter KPK dan dirujuk ke dokter RSPAD. Karena kondisi asma saya yang sudah turunan, kesehariannya di rutan KPK sering kambuh, saya ingin pindah ke Polres Selatan," kata Damayanti.
"Karena di rutan KPK rutin full AC, tidak ada oksigen murni. Saya tidak bisa menghirup freon terus," kata Damayanti.
Sementara Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) Ronald Ferdinand mengatakan, bahwa sejak penanganan kasus Damayanti, pihaknya sudah berulang kali mengizinkan untuk berobat. Namun, pihaknya belum mengetahui nantinya izin berobat untuk Damayanti bakal rutin atau hanya sekadar temporer.
"Pada saat penanganan juga ada untuk izin berobat, dan berapa kali diizinkan. Kami belum mengetahui adanya rekomendasi dari dokter KPK. Izin berobat rutin atau temporer," kata Ronald.
Hakim Sumpeno pun menjawab bahwa terkait rujukan untuk Damayanti tergantung rekomendasi dokter KPK.
"Rujukan tergantung dari dokter KPK yang merawat, kalau soal AC, nanti dikoordinasi dengan KPK bisa dikecilin tidak AC-nya," kata Sumpeno.
Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Damayanti menerima uang Rp 3,28 miliar dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Uang itu merupakan suap untuk memuluskan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah berupa uang sejumlah SGD 328 ribu, Rp 1 miliar dalam mata uang dolar Amerika Serikat dan SGD 404 ribu dari Abdul Khoir," kata jaksa Iskandar Marwanto.
Uang tersebut dimaksudkan agar Damayanti mengusulkan kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu di Maluku.
Selain itu, juga ditujukan agar Damayanti menggerakkan rekan kerjanya sewaktu di Komisi V DPR yaitu Budi Supriyanto, mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di Maluku.
Usulan tersebut nantinya dimasukkan dalam 'program aspirasi' dari anggota Komisi V DPR agar masuk ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Kementerian PUPR tahun anggaran 2016. Proyek jalan itu nantinya bakal dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama.
Proyek jalan yang nantinya menjadi usulan Damayanti dan Budi tersebut masuk ke wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional IX (BPJN IX) Maluku dan Maluku Utara.
Pada bulan Agustus 2015, Damayanti dan sejumlah anggota Komisi V DPR pun melakukan kunjungan kerja ke Maluku.
"Terdakwa bersama-sama anggota Komisi V DPR lainnya yaitu Fary Djemi Francis, Michael Watimenna, Yudi Widiana Adia, dan Mohammad Toha melakukan kunjungan kerja di Maluku dan bertemu Amran HI Mustary selaku Kepala BPJN IX," ujar jaksa.
Dalam pertemuan itu, Amran mempresentasikan berbagai program yang diusulkan untuk masuk ke APBN 2016 Kementerian PUPR.
Lalu pada bulan September 2015, Amran bertemu dengan Damayanti dan meminta agar aspirasinya ditaruh di Maluku.
Damayanti pun menyanggupi hal tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa pertemuan dengan Amran. Dalam pertemuan itu, rekan Damayanti di Komisi V yang ikut dalam pertemuan yaitu Budi Supriyanto, Fathan, dan Alamuddin Dimyati Rois, serta ada dua rekan Damayanti yaitu Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini.
Kemudian Damayanti, Dessy dan Julia dipertemukan dengan Abdul Khoir dan Jayadi Windy Arminta selaku Komisaris PT Windhu Tunggal Utama.
Dalam pertemuan itu, Abdul Khoir menyanggupi commitment fee atas nilai 'program aspirasi' sebesar 8 persen dengan rincian Damayanti 6 persen dan masing-masing untuk Dessy dan Julia sebesar 1 persen.
"Pada 25 November 2015, Abdul Khoir meminta pegawainya, Erwantoro, menyiapkan uang Rp 3.280.000.000 untuk ditukarkan dalam mata uang dolar Singapura sejumlah SGD 328 ribu. Selanjutnya Abdul Khoir menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa, Dessy dan Julia," kata jaksa.
Uang itu pun dibagi-bagi dengan rincian yaitu SGD 245.700 untuk Damayanti serta masing-masing SGD 41.150 untuk Dessy dan Julia. Kemudian di beberapa kesempatan berikutnya, Dessy dan Julia dipercaya untuk menyerahkan duit kepada Budi Supriyanto.
Damayanti pun didakwa melanggar Pasal 12 huruf a Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (tribun/why)