TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Kemendagri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (Perda) yang bermasalah.
"Pembatalan ini memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung," kata Ismail Hasani, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam keterangannya, Senin (13/6/2016).
Sebelumnya dari tahun 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan.
Berikutnya pada 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Dan pada November 2015-Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan.
Jika ditotal maka sejak 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan.
"Namun, pembatalan dengan mekanisme pengawasan administratif oleh Kemendagri selaku organ pengawas pelaksana otonomi daerah tersebut hanya berfokus pada perda-perda yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan aturan lain yang pada intinya melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis," kata Direktur Riset Setara Institute ini.
Sementara, menurut Ismail, perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran jender, dan diskriminatif terhadap perempuan luput dari perhatian Kemendagri.
Jikapun Kemendagri pada Mei 2015 mengklaim membatalkan perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan Aceh di atas pukul 23.00, faktanya, ketentuan tersebut tidak di atur dalam perda Aceh (qanun) melainkan Intruksi Walikota Banda Aceh No. 2 Tahun 2015, yang bukan merupakan obyek pembatalan.
"Sementara dalam kelompok 3.143 perda yang baru dibatalkan, Kemendagri pun tidak merilis detail jenis perdanya," kata Ismail.
Jokowi menyebutkan bahwa jenis perda tersebut adalah meliputi (a) perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, (b) menghambat proses perizinan dan investasi, (c) menghambat kemudahan berusaha, dan (d) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
"Apakah pembatalan ini mencakup 21 perda diskriminatif yang pernah kaji Mendagri? Atau apakah mencakup 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan? Dan 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat oleh Setara Institute?" tanya Ismail.
Menurut dia, hal yang dapat dipastikan adalah bahwa besarnya jumlah perda yang dibatalkan menunjukkan bahwa kualitas legislasi daerah sangatlah rendah dan mekanisme preventif dalam pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri tidak berjalan optimal.
"Di tengah solidaritas dan kecaman atas dampak perda diskriminatif di Kota Serang yang menimbulkan korban, seharusnya Kemendagri lebih bergegas tidak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi tapi juga penghapusan pelembagaan intoleransi dan diskriminasi dalam perda-perda diskriminatif yang tersebar di seluruh Indonesia, karena perda-perda tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945," kata Ismail.
Di atas semua itu, menurut dia, reformasi mekanisme legislasi daerah dan mekanisme yang memungkinkan adanya konsistensi pembentukan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk dengan Konstitusi dan Pancasila, merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia.