TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) kecewa dengan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta atas terdakwa Dewie Yasin Limpo, yang divonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Apalagi, hakim juga menolak tuntutan jaksa untuk mencabut hak politik Anggota Komisi VII DPR RI ini.
Sebelumnya, jaksa menuntut Dewie dihukum 9 tahun dengan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga menuntut hakim mencabut hak politik Dewie untuk memilih dan dipilih.
Bahkan hakim juga menolak tuntutan pencabutan hak politik Dewie.
Menanggapi putusan tersebut, anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul menilai masih ada pengadilan tinggi dan putusan Mahkamah Agung (MA) jika ada salah satu pihak yang mengajukan banding.
"Saya rasa apa yang dilakukan KPK dalam hal ini Pengadilan Tipikor soal dicabutnya hak politik, itu setelah sampai pengadilan tinggi dan MA," kata Ruhut kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Politikus Partai Demokrat ini mendukung KPK yang menuntut pejabat negara atau anggota dewan agar dicabut hak politiknya jika terlibat korupsi, demi memberikan efek jera.
"Saya rasa untuk efek jera, harus patuh juga, itu kan diatur UU. Beberapa kader kami juga kena (korupsi), jadi kalau sudah dicabut hak politik ya harus dipatuhi," kata Ruhut.
Sebelumnya, Dewie dan stafnya, Bambang Wahyu Hadi dituntut 9 tahun penjara dan denda 300 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Keduanya didakwa menerima suap sejumlah SGD 177.700 atau setara dengan 1,7 miliar terkait proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua. Jaksa juga menuntut pencabutan hak politik Dewie, namun tidak dikabulkan oleh majelis hakim.
Suap itu berasal dari Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Deiyai Irenius Adi dan Direktur PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiyadi Yusuf.
Uang itu diberikan melalui asisten pribadi Dewie, Rinelda Bandaso. Suap itu diberikan agar proyek senilai Rp 50 miliar dianggarkan dalam APBN 2016 dan dikerjakan oleh Kementerian ESDM.
Dewie didakwa meminta fee 7 persen dari total nilai anggaran proyek.