TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Tidak banyak perubahan pada lingkungan masa kecil Tito Karnavian di Lorong Sungai Sawah 1, Jalan PSI Kenayan, Tangga Buntung. Rumah-rumah panggung yang berdiri rapat menjadi ciri khas kawasan tepian Sungai Musi ini.
Perubahan besar hanya pada jalan yang tadinya jembatan kayu berganti cor beton. Begitu juga anak sungai tempat bermain anak-anak kini sudah dipasang dam beton.
Calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Tito Karnavian menghabiskan masa kecil di wilayah ini. Rumah tempat tinggalnya dahulu masih berdiri kokoh. Bangunan panggung berdinding kayu, seluas 6 x 12 meter itu sudah beberapa kali ganti pemilik.
Sejak kecil, Tito menunjukkan bakat yang luar biasa. Bukan hanya lincah dan periang, anak kedua dari pasangan Hj Kordiah dan Achmad Saleh ini juga cerdas. Selalu meraih peringkat satu di sekolah, mulai dari SD, SMP, sampai SMA.
Tribun Sumsel mendatangi kawasan yang terkenal “texas” dan tempat lahirnya banyak preman di Palembang ini, Rabu (15/6) sore. Tidak sulit mencari rumah Tito, hampir setiap orang yang dijumpai paham di mana lokasi masa kecil jenderal bintang tiga ini.
Persis di depan rumah semasa kecil Tito, Tribun Sumsel menjumpai Eliyanto. Teman semasa dulu yang hingga kini masih sering berkomunikasi. Mantan petinju profesional ini bahkan pernah sengaja ke Jakarta menemui Tito yang waktu itu menjabat Kapolda Metro Jaya.
Eli masih ingat apa saja kebiasaan Tito semasa kecil. Bersama teman-teman sebayanya, Tito jago berenang. Rumahnya hanya berjarak 15 meter dari Sungai Musi.
“Kami biasanya PP (pulang-pergi) menyeberangi sungai musi. Dia badannya tidak terlalu tinggi, tetapi kekar," kata Eli.
Eli biasanya memanggil Tito Karnavian dengan sapaan Kotit. Sapaan ini bermula dari seringnya Tito memanggil nama temannya dengan cara membaca terbalik. Misalnya Eli, dipanggi Ile.
Tito sejak kecil dikenal keras dan selalu ingin jadi pemenang. Apalagi saat main tembak-tembakan menggunakan pistol kayu. Ia bahkan rela seorang diri menjadi koboi, sedangkan sepuluh temannya menjadi penjahat.
Eli mengaku sangat susah mengalahkan Tito bermain tembak-tembakan. Pasalnya, saat kena tembak ia tidak pernah mau mengalah. Selalu beralasan yang tertembak adalah tangan atau kaki.
“Kalau sudah seperti itu bakal ramai. Kadang ujung-ujungnya bertengkar. Pernah kepalanya berdarah akibat berkelahi,” ujar Eli sambil tertawa.
Eli sangat bersemangat menceritakan masa kecil Tito. Duduk di teras sambil menghadap rumah Tito semasa kecil, Eli juga ingat temannya itu suka membaca.
Setelah bermain, Tito pulang untuk membaca. Kalau membaca komik, sekali duduk bisa menghabiskan empat buku sekaligus. Setelah itu ia keluar rumah untuk menemui teman-temannya. Kemudian menceritakan detil apa saja yang sudah dibacanya tadi.
Eli terakhir bertemu Tito saat temannya itu menjabat Kapolda Metro Jaya. Ia sampai harus menjalani pemeriksaan berlapis-lapis sebelum bisa bertemu sahabatnya itu. Sepulang dari sana, Eli membawa serta dua foto seukuran buku tulis.
“Rasanya bangga, kawan waktu kecil (jadi calon Kapolri), puas. Kita tidak tercapai cita-cita, tetapi ada kawan yang berhasil,” ungkapnya.
Pada kelas 3 Sekolah Dasar, Tito dan keluarga pindah rumah. Msaih di Jalan PSI Kenayan, lokasinya hanya berjarak 100 meter dari tempat sebelumnya.
Rumah kedua ini lebih bagus, berdinding bata terdiri dari dua lantai, lokasinya di pinggir jalan raya.
Tribun Sumsel menjumpai ibu kandungnya, Hj Kordiah di ruang belakang rumah bercat cream ini. Foto-foto Tito semasa menjabat Kapolda Papua banyak dipajang di dinding ruangan belakang rumah.
Kordiah, dijumpai sedang duduk santai di ruang belakang rumah. Rumah ini tampak asri, ruangan belakang rumah tanpa dinding sehingga sirkulasi angin sangat baik. Di dekat Kordiah duduk terdapat kolam ikan dengan air yang jernih.
Ibu Tito semasa muda adalah bidan di Puskesmas Karang Anyar, tidak jauh dari rumahnya. Lahir dari keluarga sederhana sehingga tidak ada yang menyangka bahwa dia bakal jadi orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
“Minta-minta lah (jadi kapolri). Senang, saya setuju,” ujar Kordiah tentang anaknya.
Tito sewaktu kecil menurut Kordiah, sama seperti anak kebanyakan. Sekolah, bermain, dan belajar. Tetapi anak nomor duanya ini memang lebih cepat tanggap, selalu fokus setiap mendengarkan penjelasan guru di kelas.
Tito selalu mendapat peringkat satu setiap di kelas. Atas prestasi ini, beberapa guru-gurunya sengaja mendatangi rumahnya dan bertemu Kordiah. Menanyakan bagaimana cara mendidik anak sehingga bisa pintar.
Setelah menamatkan sekolah di SMA Negeri 2 Palembang, Tito melanjutkan rencana sekolah ke Jakarta. Ia memilih mengikuti tes Hubungan Internasional dan Kedokteran Universitas Indonesia. Semuanya dinyatakan lulus.
Kordiah yang lama menekuni profesi bidang waktu itu menyarankan Tito untuk mengambil kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
"Saya kan bidan, makanya saya sarankan ambil kedokteran. Tetapi dia (Tito) berrkata nanti ibu keluar uang banyak untuk biaya. Tito tidak mau dia jadi beban," ujar Kordiah.
Tito kemudian memilih ikut pendaftaran Akabri. Pilihan ini tidak salah, Tito mendapat penghargaan Adi Makayasa sebagai lulusan terbaik. Ia sekarang juga menjadai calon tunggal yang diusulkan Presiden Joko Widodo sebagai Kapolri.
Ia mengakui, sejak Tito menjadi polisi maka pertemuan dengan anaknya semakin jarang. Komunikasi sering melalui telepon, hanya sesekali Kordiah menjenguk anaknya di Jakarta.
Meski sibuk, Tito tetap meluangkan waktu untuk balik ke Palembang setiap Idul Fitri. Walau hanya semalam, ia akan menemui dan menikmati makanan ibunya.
Pindang kepala ikan tapa merupakan makanan kesukaan Tito. Apabila sudah bertemu menu ini maka makannya bisa nambah. Ia juga menekankan bahwa masakan ini harus dibuat oleh ibunya.
Pernah suatu kali Tito mengajak ibunya tinggal di Jakarta. Tetapi Kordiah menolak, ia menganggap di rumah ada rumah tempat tinggal. (wan)