Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri berhasil mengungkap kasus pembuatan vaksin palsu yang berproduksi sejak 2003 dan produknya tersebar di sejumlah rumah sakit Jabodetabek dan beberapa wilayah lain.
Pelaku adalah jaringan kelompok, diantaranya pasangan suami istri yang berprofesi perawat.
Lebih dari itu, anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago menduga pelaku adalah bagian dari mafia produk medis yang melibatkan pekerja medis pra-rumah sakit atau paramedis.
Mereka lah yang membuat praktik produksi dan pemasaran vaksin palsu ini berlangsung bertahun-tahun dan rapi.
"Baru sekarang terbongkar. Ini modusnya rapi sekali. Saya curiga ada mafia, mulai pembuat, pamasok, sampai penerima (di rumah sakit)," kata Irma dalam rapat Komisi IX dengan Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, Direktur Pemasaran Bio Farma, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/6/2016).
Irma menyangsikan pekeja medis di rumah sakit atau klinik yang menerima dan menggunakan ke balita tidak mengetahui vaksin yang digunakan palsu.
Sebab, dari harga pasaran resmi vaksin asli jenis tertentu berkisar Rp 800 - Rp 900 ribu per botol.
Namun, vaksin palsu yang diproduksi kelompok pelaku hanya dijual Rp 250 - Rp 300 ribu.
"Dari saja paramedis sudah tahu ini vaksin palsu. Tapi, kenapa praktik ini bisa berlangsung sekian lama dan tersimpan rapi. Pasti, ada oknum-oknum bermain," katanya.
Dalam rapat ini, Irma juga mengkritik kerja Menkes, Nila Moeloek dan (Plt) Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid, terbilang lambat dalam menangani temuan kasus vaksin palsu ini.
"Pemerintah bilang, masyarakat jangan resah. Seharusnya Kementerian Kesehatan dan BPOM sampaikan, kami akan ambil alih masalah ini dengan langkah konkret. Kemarin sudah ada 'kasus anestesi'. Kasus itu belum selesai, muncul lagi masalah baru," ujarnya.
Irma menyampaikan kritik sekaligus kekecewaan terhadap pejabat Kemenkes yang kerap bertahan atau saling melindungi hingga melempar dan menyalahkan pihak lain setiap kali muncul kasus medis.
Padahal, kehadiran Kemenkes adalah dalam rangka melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia dan tidak sekedar mengontrol rumah sakit pemerintah.
"Contoh kasus DBD, Kementerian Kesehatan juga defense, nggak mau turun ke daerah. Menyalahkan daerah, katanya itu tugas Dinas Kesehatan setempat. Menyalahkan BPOM. Ingat, BPOM itu anggarannya kecil dan sudah dipotong juga. Seharusnya Kemenkes dan BPOM saling support," katanya.
Irma mengharapkan pihak Kemenkes dan BPOM tidak lagi saling menyalahkan atau melempar tanggung jawab begitu muncul suatu kasus medis.