Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Undang-Undang Tax Amnesty.
Walaupun aturan itu sudah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI, pada Selasa (28/6/2016).
Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan pengesahan undang-undang itu telah mencederai rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang taat membayar pajak, termasuk kaum buruh.
"Buruh itu orang yang taat membayar pajak (PPh 21). Bahkan sebelum gajinya diterima, sudah dipotong untuk membayar pajak,” tutur Said kepada wartawan, Rabu (29/6/2016).
Menurut dia, seharusnya negara malu mengampuni para pengemplang pajak demi mengejar pendapatan pajak dengan menggadaikan hukum.
Hal ini karena Undang-Undang Tax Amnesty tidak menjamin peningkatan pemasukan pajak yang saat ini minus. Bahkan buruh tidak percaya target pendapatan Rp 165 triliun akan tercapai dengan cara ini.
Repatriasi dana yang datang dari luar negeri belum bisa dihitung besarannya.
Dia menganggap seharusnya pemerintah membuat "base on" data yang benar dan tepat dulu, bukan asumsi. Apalagi data Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia saja berbeda.
Undang-Undang Tax Amnesty hanya akan menguntungkan bagi pengemplang pajak, pengemplang dana BLBI, dana "ilegal dan haram" karena isu ini dihapus dalam pasal 20.
"Apalagi, era keterbukaan informasi bagi negara G20 pada akhir 2016, tak ada tempat aman bagi koruptor masa kini dan akan datang untuk menyembunyikan dan memarkir uang di luar negeri," kata dia.
Said menambahkan persoalan Tax Amnesty adalah persoalan ketaatan hukum. Jadi "jangan dibarter" dengan tax amnesty.
Para buruh dan pengusaha kecil saja dikenakan pajak, tidak pernah ada pengampunan bahkan nilai PTKP buruh masih rendah dan puluhan juta buruh penerima upah minimum terkena pemotongan pajak.
"Jelas, UU Tax Amneaty beraroma pemodal," tambahnya.