News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Vaksin Palsu

Vaksin Palsu Beredar, Pemerintah Harus Minta Maaf

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Utama PT Bio Farma Iskandar memperlihatkan vaksin produk Bio Farma, saat jumpa pers terkait vaksin palsu di kantor Bio Farma, Jalan Pasteur, Kota Bandung, Kamis (30/6/2016). Bio Farma telah melakukan koordinasi dengan Bareskrim, Kementerian Kesehatan, Badan POM, dan distributor resmi vaksin Bio Farma, berdasarkan pengamatan fisik, kemasan, dan hasil uji laboratorium, vaksin yang diduga palsu adalah asli, atau tidak dipalsukan. Masyarakat agar tidak ragu untuk mengimunisasi putra putrinya dengan vaksin yang menjadi program pemerintah, baik di rumah sakit, puskesmas, posyandu, maupun di klinik. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dituntut menyampaikan permintaan maaf terkait vaksin palsu.

Hal itu disampaikan Anggota Komisi IX DPR Robert Rouw saat rapat kerja (Raker) dengan Menteri Kesehatan di ruang rapat Komisi IX DPR, Gedung DPR, Jakarta, Rabu (13/7/2016).

"Tidak ada kata maaf dari pemerintah. Ini kejadian luar biasa, generasi penerus kita diberikan imunisasi abal-abal. Harus ada pernyataan pemerintah minta maaf," kata Robert.

Politikus Gerindra itu membandingkan dengan kemacetan di Tol Brebes saat mudik lebaran. Dimana, pemerintah awalnya membantah jatuhnya korban jiwa bukan karena kemacetan.

Namun, kata Robert, saat media mempublikasikan surat terbuka dari keluarga korban maka Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan permohonan maaf.

"Kemarin soal tol, wapres berikan statement. Tetapi kejadian ini yang korbannya bayi tak berdosa, tapi tak ada permohonan maaf. Ini dimana tanggungjawabnya?" tanyanya.

Robert mengatakan BPOM dan Menkes seharusnya mengusut kembali peredaran obat palsu yang beredar di pasaran. Selain itu, Robert juga menyarankan adanya standarisasi harga obat antibiotik.

"Kalau harga dibawah standar ya itu palsu. Kalau di Papua lebih murah dari Jakarta enggak masuk akal juga. Ini orang sakit rentan, masyarakat keci masih mencari yang termurah," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini