Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai pemerintah Indonesia harus mewaspadai buku putih (white paper) China dengan judul China Adheres to the Position of Settling Through Negotiation the Relevant Disputes Between China and the Philippines in the South China Sea.
Segera setelah adanya putusan Arbitrase antara Filipina melawan China, pemerintah China mengeluarkan buku putih tersebut.
Dalam buku putih ini China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan dengan berbagai kepulauannya namun tidak didasarkan pada Sembilan Garis Putus.
Klaim China didasarkan pada penguasaan kepulauan Nanhai Zhudao atau yang lebih populer sebagai kepulauan Spratly yang telah berlangsung selama 2000 tahun.
Menurut buku putih ini Filipinalah yang telah melakukan pendudukan atas kepulauan Nanhai Zhudao.
Dalam buku putih ini China juga mengklaim adanya maritime rights and interests.
Istilah maritime rights and interests digunakan China terhadap Indonesia saat terjadi insiden penegakan hukum di ZEE Indonesia di Natuna atas nelayan China pada bulan Juni lalu.
"Disinilah Indonesia harus waspada karena disamping China tidak mengakui putusan Arbitrase, ternyata klaim baru dilakukan oleh China," ujarnya kepada Tribun, Jumat (15/7/2016).
Kali ini imbuhnya, klaim dimirip-miripkan dengan ketentuan yang ada dalam UNCLOS.
Oleh karenanya pemerintah Indonesia harus segera menyikapi buku putih yang dileluarkan oleh pemerintah China sebagai tindakan yang tidak bersahabat pasca putusan Arbitrase.
"Pemerintah perlu mengulang kembali agar semua pihak, temasuk China, untuk mematuhi hukum internasional dan UNCLOS," jelasnya.
Bahkan bila perlu pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah menyambut dan mengapresiasi putusan Arbitrase sehingga Indonesia menafikan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintah China.