TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di dalam laporan putusan final International People's Tribunal (IPT) 1965 dijelaskan dengan detail bagaimana peran sentral Jenderal Soeharto saat peristiwa pembantaian massal 1965 dan sesudahnya.
Di laporan itu disebutkan bahwa pada 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto langsung mengambil kontrol de facto atas Ibu Kota dengan penggunaan angkatan bersenjata.
"Sebuah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya," jelas Ketua Pengadilan IPT 1965, Zak Yacoob, Rabu (20/7/2016).
Kemudian pada 1 November 1965, Jenderal Suharto ditunjuk sebagai Kepala Komandan dari Kopkamtib.
Dengan demikian, Komando ini beroperasi di bawah perintah langsung darinya.
"Jenderal Soeharto dan kroni-kroninya segera menuding PKI sebagai dalang dari G 30 S (Gerakan 30 September). Sebuah kampanye propaganda militer yang menyebarluaskan foto-foto para jenderal yang mati dan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia lah, terutama perempuan-perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menyiksa dan mencungkil mata atau memutilasi alat kelamin mereka sebelum meninggal," katanya.
Akibatnya, kekerasan dan demonstrasi terhadap orang-orang yang diduga Komunis dilakukan oleh tentara dan kelompok-kelompok pemuda, yang dipersenjatai dan atau didukung militer dan pemerintah, dengan singkat pecah di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sebelum menyebar ke seluruh Tanah Air.
Pengadilan menyatakan orang-orang sipil dibunuh, diperkosa, disiksa, diperbudak, atau menjadi sasaran kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya di dalam rumah mereka sendiri atau di tempat-tempat umum.
Pada 21 Desember 1965, Jenderal Soeharto mengeluarkan sebuah perintah (Kep-1/KOPKAM/12/1965) untuk para pimpinan militer di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan daftar-daftar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut di daerahnya masing-masing.
Orang-orang sipil yang namanya termasuk daftar ini menjadi sasaran pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan kejahatan-kejahatan lainnya, sebagaimana telah dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia.