Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Karina sesungguhnya tidak ingin berada di depan barisan, dari rombongan yang akan mengambil Seck Osmane dari ruang isolasinya, di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Besi, Pulau Nusakambangan.
Ia merasa terpidana mati kasus narkoba itu belum diberikan hak bimbingan rohani yang adil, dan ia marah kepada pemerintah atas ketidakadilan itu.
Namun rohaniawati itu tetap memenuhi permintaan Jaksa untuk memimpin rombongan.
Kamis malam Jumat (28/7), sekitar pukul 23.00 WIB, saat Pulau Nusa Kambangan diguyur hujan deras, ia bersama sejumlah petugas yang membawa senjata api dan borgol, datang menghampiri sel isolasi yang sudah beberapa hari dihuni oleh sang terpidana mati itu.
Saat pintu besi dibuka oleh petugas, Karina berada tepat di depan pintu, dan ia yang menjadi orang pertama yang masuk ke sel sempit tersebut.
Karina mengingat malam itu Seck Osmane hanya mengenakan pakaian biasa, jaket dan celana jeans. Ia lalu memeluk laki-laki berkulit legam itu.
"Dia cuma bilang dia menyangi saya, dia berterima kasih pada saya,"ujar Karina saat ditemui wartawan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2016).
Sebetulnya ada sejumlah hal yang ingin ia sampaikan pada anak yang selama ini ia bimbing rohaninya itu.
Namun keberadaan petugas di belakangnya, membuatnya tidak nyaman, dan iapun mengurungkan niatnya untuk menyampaikan sesuatu ke Seck Osmane.
Seharusnya sebelum dieksekusi, seorang terpidana mati berhak atas bimbingan rohani yang memadai.
Karina yang sudah empat belas tahun melakukan pendampingan bagi terpidana di Nusa Kambangan, menyebut umumnya sebelum dibunuh, seorang terpidana mati diberikan waktu untuk dipersiapkan menetalnya.
Namun Seck Osmane tidak mendapatkan kemewahan tersebut.
"Kita hanya menjadi malaikat kematian mereka, kita datang membawa petugas segala macam lengkap dengan borgol untuk mengikat mereka," ujarnya dengan nada geram.
Karina adalah rohaniawati dari Yayasan Gita Eklesia, yang ditunjuk oleh Seck Osmane, karena ia sudah dikenal oleh sang terpidana mati.
Penunjukan tersebut diakukan pada Selasa lalu (26/7), namun hari itu ia tidak ada di pulau Nusakambangan. Sehingga proses bimbingan baru dilakukan pada hari Rabu dan Kamis.
Bimbingan tersebut dilakukan pada siang hari, di sel isolasi.
Tugasnya sebagai seorang rohaniawati, adalah menyiapkan mental sang terpidana, sebelum timah panas Polisi merenggut nyawa sang terpidana mati.
"Ini masalah kematian, bukan masalah yang mudah untuk dihadapi, kami harus mempersiapkan jiwa mereka, bagaimana mereka mempersiapkan hidup mereka, mereka akan bertemu Tuhan, ini bukan hal yang mudah," katanya.
Sebelumnya, ia mengaku yakin Seck Osmane akan lolos dari hukuman mati, salah satunya karena proses grasi terpidana mati itu masih berlangsung.
Di Nusakambangan yang ia tahu, banyak terpidana mati yang grasinya sudah ditolak berkali-kali, namun tidak kunjung diekskusi.
Ternyata keyakinannya itu salah. Ia mengetahui hal tersebut saat rohaniawan dari empat belas terpidana mati yang rencananya akan diekskusi pada Jumat dini hari, (29/7), dikumpulkan di sebuah ruangan pada Kamis malam, sekitar pukul 19.00 WIB.
Di ruangan tersebut selain rohaniawan, juga terdapat petinggi Lapas dan Kejaksaan.
Ia melihat bagaiman semua orang malam itu "grasah-grusuh." Ia juga mendengar hanya terpidana mati nomor 6,7,9 dan 11 yang akan dibunuh, dan kemudian ia diberitahu oleh seorang Jaksa, bahwa Seck Osmane adalah terpidana mati nomor 11.
Karina sempat bertanya ke Jaksa yang memberitahunya soal ajal Seck Osmane. Sang Jaksa hanya menjawab pendek, bahwa keputusan tersebut adalah keptusan pimpinan, dan Karinapun bingung siapa pimpinan yang dimaksud sang Jaksa.
"Saya ingin tahu, apakah ini (diundi) pakai dadu, kartu atau apa, karena kita tidak tahu," ujar Karina.
Pada Kamis malam, Karina ikut dalam rombongan yang mengambil Seck Osmane dari sel isolasi.
Rombongan itu lalu dibawa dengan kendaraan roda empat menuju lapangan Limus Buntu, lapangan bekas tempat latihan menembak, yang luasanya mendekati lapangan bola.
Di lapangan tersebut sudah berdiri tenda yang menyerupai tenda pernikahan, di mana di dalamnya sudah tertancap tiang kematian untuk para terpidana mati.
Tiang tersebut terbuat dari kayu setinggi sekitar dua setengah meter, dengan dua potong kayu melintang di bagian atasnya sepanjang sekitar 80 sentimeter, untuk mengaitkan tangan sang terpidana.
Di lapangan tersebut Karina kembali diizinkan menemui Seck Osmane.
Keduanya lalu memanjatkan doa selama sekitar dua menit, kemudian sang terpidana diikatkan ke tiang kematian, dengan wajah yang ditutupi kain.
Karina lalu memeluk orang yang ia sudah anggap sebagai anak sendiri itu untuk terakhir kalinya.
Setelahnya ia lalu menjauh, berkumpul bersama rohaniawan lain dan para pejabat yang bertugas menyaksikan eksekusi itu.
Karina melihat bagaimana dua belas anggota Brimob Polri dengan senjata laras panjang, mengarahkan senjatanya ke Seck Osmane. Dengan satu kali tembakan, sang terpidana mati itu akhirnya tewas.