TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam dua hari Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil mengungkap kasus sindikat narkoba di Jakarta dan Riau dengan total barang bukti lebih dari 100 Kg sabu dan 120 pil ekstasi.
Kepala Bagian Humas BNN Slamet Pribadi menjelaskan, pihaknya terus berperang terhadap sindikat narkoba meskipun diterjang isu miring yang diucapkan Koordinator Kontras Haris Azhar.
Pengungkapan sabu dengan berat 30 Kg di Hotel Orchardz Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016) malam kata Slamet, adalah salah satu pembuktian.
"BNN tetap bekerja. Pak Buwas (Kepala BNN Budi Waseso) tetap bekerja melaksanakan amanah Undang-Undang dan negara. Tidak akan berubah, seperti ini hasilnya. Di Riau maupun di Gunung Sahari Jakarta," kata Slamet kepada wartawan di kantornya, Cawang, Jakarta Timur, Jumat (5/8/2016).
Diketahui, pagi ini BNN juga mengungkap sindikat narkoba di Tanjung Pinang Riau. Deputi Pemberantasan BNN Arman Depari memimpin langsung penggrebekan tersebut. Hasilnya 71 Kg sabu dan 120 ribu butir ekstasi diamankan.
"Untuk itu kami mengimbau kepada masyarakat untuk berpihaklah pada korban yang setiap hari bergelimpangan. Korbannya ada 30 sampai 50 orang setiap hari. Jangan berpihak pada bandar atau sindikat narkoba," kata Slamet.
Sebelumnya, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengungkap rahasia bisnis narkoba terpidana mati Freddy Budiman.
Cerita itu ia dapatkan saat mengunjungi Freddy di Lapas Nusa Kambangan pada 2014 lalu. Lantas Haris membuka tabir gelap itu pada Kamis malam, atau sehari sebelum Freddy dieksekusi mati pada Jumat dini hari, 30 Juli 2016.
Kepada Haris, Freddy mengaku bukan bandar narkoba, melainkan operator penyelundupan skala besar. Bosnya ada di Cina. Setiap kali akan membawa barang masuk, dia lebih dulu menghubungi polisi, Badan Narkotika Nasional, serta Bea dan Cukai untuk kongkalikong.
"Orang-orang yang saya telepon itu semuanya nitip (menitip harga)," kata Freddy kepada Haris seperti tertulis dalam pernyataannya.
Harga yang dititipkan itu beragam. Dari Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu. Freddy tak pernah menolak. Sebab dia tahu harga sebenarnya yang dikeluarkan pabrik hanya Rp 5.000 per butir.
"Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya," ucap Freddy.
Dengan modal Rp 10 miliar Freddy bisa meraup triliunan karena harga satu butir narkoba di pasaran berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.
Dia bisa membagi puluhan miliar ke beberapa pejabat. Selama beberapa tahun bekerja sebagai penyelundup, ia terhitung menyetor Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Saking dekatnya Freddy dengan pejabat itu, ia bahkan pernah difasilitasi mobil TNI bintang dua dari Medan menuju Jakarta. Si jenderal duduk di sampingnya yang sedang menyetir mobil dengan kondisi di bagian belakang penuh narkoba.
"Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun," katanya.
Freddy kecewa karena pada akhirnya ia tetap ditangkap. Barang narkobanya disita. Anehnya, barang-barang itu malah beredar di pasaran. Ia mengetahui hal itu dari laporan jaringannya di lapangan. Menurut Freddy, setiap pabrik yang membuat narkoba punya ciri masing-masing mulai bentuk, warna, dan rasa. Bosnya yang mengetahui hal itu pun bertanya-tanya.
"Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?" Katanya.
Saat berada dalam penjara Freddy masih bisa menjalankan bisnis narkoba. Menurut pengakuan Kepala Lapas Nusa Kambangan Sitinjak, setiap ada pejabat BNN yang mengunjungi Lapas, ia diminta untuk mencopot CCTV yang mengawasi Freddy Budiman.
Kemudian Freddy mengaku didatangi polisi dan ditawari untuk kabur dari penjara. Awalnya ia tak mau karena masih bisa menjalankan bisnis dalam penjara. Tapi karena tahu polisi itu butuh uang, jadi dia menerimanya.
"Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang, lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira Rp1 Miliar dari harga yang disepakati Rp2 Miliar," katanya.